Relasi Ideal Antara Laki-laki dan Perempuan

Relasi Ideal Antara Laki-laki dan Perempuan
Oleh: Mamang M. Haerudin

Lalu pertanyaannya adalah bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang semestinya? Ya, pertanyaan ini begitu mendasar, untuk kemudian dapat mengantarkan kita supaya dapat memahami bagaimana relasi dan kedudukan ideal antara laki-laki dan perempuan yang digariskan Tuhan melalui al-Qur’an. Tapi sebelum itu ada baiknya kita simak pernyataan Syaikh Mahmud Syaltut—mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, Mesir—berpendapat bahwa: “Tabiat kemanusiaan laki-laki dan perempuan hampir (dapat dikatakan) dalam batas yang sama. Allah menganugerahkan kepada perempuan, sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki, potensi yang cukup untuk memikul aneka tanggung jawab yang menjadukan kedua jenis itu mampu melaksanakan aneka kegiatan kemanusiaan yang umum dan khusus”.

Mula-mula akan saya hadapkan dengan ayat yang berbicara soal penciptaan manusia, bagaiamana kemudian ayat ini bisa dijadikan sebagai langkah awal dalam cara pandang kita supaya dapat memosisikan laki-laki dan perempuan secara setara. Ayat dalam al-Qur’an yang secara eksplisit membincang soal ini adalah QS. al-Nisa [4]: 1; “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan dari diri (nafs) yang satu, dan dirinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA  menafsirkan kata “nafs” dalam ayat tersebut sebagai proses penciptaan Adam dan Hawa sebagai pasangan yang tercipta dari nafs yang satu.
Namun demikian, banyak ulama terdahulu yang menyatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, dengan makna yang literal. Pandangan subordinatif ini, secara psiko-sosiologis banyak memengaruhi pandangan arus utama, yang berimplikasi pada penghakiman bahwa Hawa adalah bagian kecil dari Adam. Pandangan semacam ini digaris bawahi kembali oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA bahwa pandangan subordinatif ini diindikasikan berasal dari teks keagamaan yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Padahal, tidak sedikit ulama kontemporer yang menilai bahwa hadits tersebut tidak shahih. Dan kalaupun benar adanya, istilah tulang rusuk itu hanya sebatas kiasan  belaka dan bukan makna yang sebenarnya.
Selain itu, kalaupun hadits tersebut “dipaksakan” untuk diterima, lanjut beliau, hadits tersebut khusus ditujukan kepada Hawa dan tidak berlaku untuk manusia-manusia (perempuan) lain setelahnya. Ini penting dikemukakan karena, cucu Adam dan Hawa setelah mereka adalah sebuah bentuk manusia yang terjadi akibat perpaduan sperma dan ovum, sebagaimana tertera dalam QS. Ali-Imran [3]: 39.
Ayat lain yang sering dijadikan dalil untuk mensubordinasi perempuan adalah QS. al-Nisa [4]: 34; “Laki-laki adalah ‘qawwamun’ (pemimpin) atas perempuan, disebabkan Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dank arena mereka (laki-laki) menafkahi dari harta mereka”. Mayoritas para ulama menafsirkan ayat ini secara literal, akibatnya penafsiran-penafsiran secara literal itu bagaimanapun telah membagi arah bagi pembagian peran tetap laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan di sektor publik (kemasyarakatan) dan perempuan berperan di wilayah domestic (rmahtangga).
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA sebagaimana mengutip pendapatnya Ashghar Ali Engineer (1992)—seorang cendekiawan progresif asal India—menjelaskan makna ayat ini ditinjau dari asbab al-nuzul (sebab turun) bahwa ayat tersebut bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai domectic violence atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam.  Kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksud adalah nusyuz dan konflik atau perselisihan suami istri dalam rumah tangga.
Dari beberapa ayat yang (terkesan) subordinatif perempuan, harus dilakukan upaya penafsiran ulang entah itu dilihat dari sisi sebab turunnya atau ditafsirkan sesuai dengan konteks kekinian. Sebab, Al-Qur’an sebagaimana diimani kebenarannya, tidak mungkin memperlakukan manusia (terutama perempuan) secara tebang pilih, diskriminasi, dan lainnya. Perlu adanya kembali pada tujuan utama Al-Qur’an sebagai penerang dan pemberi hidayah yakni menuntun agar manusia ramah terhadap sesama, mendudukkan sama antara laki-laki dan perempuan.
Mengapa demikian? Karena banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an yang tentang kesetaraan manusia, kesetaraan laki-laki dan perempuan dimata Allah SWT. Lihat misalnya, QS. al-Hujurat [13]: 49 yang menyatakan bahwa nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama dan setara, yang mengukur manusia mulia dihadapan Allah hanyalah kualitas takwa, dan kulitas takwa tidak mengenal jenis kelamin, ia bisa disandang oleh siapapun; laki-laki atau perempuan.
Diayat yang lain, Allah SWT memberikan potensi kepada laki-laki dan perempuan secara sama dan setara, keduanya diminta berlomba-lomba melakukan amal baik sebanyak-banyaknya. Semua manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid (hamba) dan khalifah (pengganti/pemimpin), lihat QS. al-Nisa [4]: 124 dan QS. al-Nahl [16]: 97.
Peranan dan kedudukan setara lainnya dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam QS. al-Taubah []: 71, QS. al-Ahzab []: 35, dan lain sebagainya. Dengan demikian, al-Qur’an sebagai penerang dan penuntun umat manusia untuk berbuat ramah dan adil terhadap perempuan semakin jelas. Ya, keadilan dan kesetaraan adalah ajaran utama dalam al-Qur’an, guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan pula. Lihat QS. al-Nisa []: 35, QS. al-Mumtahanah []: 8, dan lain sebagainya.
Salam

Ditulis Oleh : Publisher Cirebon ~ DosoGames

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Relasi Ideal Antara Laki-laki dan Perempuan yang ditulis oleh djavaspot yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di djavaspot

0 komentar:

Post a Comment

Back to top