Paradigma Fikih Sosial Baru dan Dinamis

Paradigma Fikih Sosial Baru dan Dinamis
Oleh: Mamang M. Haerudin

Paradigma fikih, rupanya telah menjadi paradigma arus utama di mata masyarakat Indonesia. Tak kurang dari masyarakat Pesantren, khususnya di Jawa, begitu lekat dengan paradigma fikih. Menganalisis segala macam persoalan yang parameternya adalah fikih. Namun, ada yang lekang dari paradigma fikih yang dibangun—dan terbangun—oleh masyarakat arus utama. Yakni, tatkala fikih yang hasilnya jauh tercerabut dari makna sejatinya, sebagaimana dikemukakan di atas, minimalnya. Fikih yang disempitkan menjadi fikih yang doyan menjustifikasi wajib-haram, sesat-kafir, dan seterusnya.


Memang, dalam fikih, selain mengenal wajib-haram, kita mengenal; sunnah, makruh, dan mubah. Wajib, satu ketentuan yang jika dilakukan berpahala, ditinggalkan berdosa. Haram, sebaliknya. Sunnah, dilakukan berpahala, ditinggalkan tak berdosa. Makruh, ketentuan yang sebaiknya ditinggalkan, dan mubah adalah ketentuan netral, baik dilakukan dan ditinggalkan tak berbalas pahala maupun dosa.

Beberapa ketentuan di atas haruslah dipahami sebagai salah satu strategi ulama untuk memudahkan masyarakat awam (dengan konteks tertentu yang terbatas) dalam memahami hukum Islam yang kompleks itu. Maka bagi seorang yang sedang dalam masa belajar dan apalagi intelektual, fikih—sebagaimana makna dasarnya—adalah sebuah proses. Proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan—al-Qur’an dan hadits—dengan realitas sosial yang terus berubah dinamis. Fikih yang tidak jumud dan bukan taklid buta. Sehingga dengan demikian, kontekstualisasi dan dinamisasi akan selalu ada, untuk membuahkan fikih yang sesuai dan baru.

Pada satu sisi, kiranya mesti menjadi perhatian kita dalam menginterpretasi teks-teks keagamaan, terutama al-Qur’an dan hadits, untuk tidak terjebak dalam interpretasi yang harfiah-literal. Penafsiran yang harfiah-literal ini membahayakan, karena sebuah kerja yang tidak mudah tatkala redaksi al-Qur’an berbahasa Arab yang begitu rumit, dengan sekonyong-konyong diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apalagi jika diperparah dengan mengenyampingkan konteks—sabab nuzul dan sabab wurud—dari teks yang dihadirkan.

Pada sisi lain, sulit rasanya ketika kemudian memahami fikih tanpa usul fikih. Usul yang memiliki makna pokok atau prinsip, menjadi semacam landas pikir, dimana seseorang menyelami ilmu fikih. Karena sejatinya fikih itu adalah pemahaman untuk memudahkan dan menjawab masalah yang ada dalam kehidupan masyarakat. al-Masyaqah tajlib al-Taisir (Kesulitan dapat menarik kemudahan), adalah salah satu kaidah usul fikih yang dapat dijadikan patokan bahwa pada hakikatnya fikih adalah salah satu cara untuk memudahkan masyarakat dari kesulitan, dan bukan tambah menyulitkan sehingga menjadikan masalah baru yang lebih sulit.

Fikih juga tak boleh tercerabut dari aspek lokalitas; al-‘Adah muhakkamah (Adat dapat dijadikan sumber hukum). Ini juga merupakan satu kaidah usul fikih yang pokok, dimana ajaran Islam mesti mengindahkan aspek adat atau lokalitas masyarakat tertentu. Kalau kita renungkan, betapa kaidah ini telah diterapkan Wali Sanga pada jauh hari di bumi nusantara ini, sebagaimana sejarah mencatat.

Tasharruf al-Imam ‘ala ra’iyyah manuthun bi al-Mashlahah (Kebijakan seorang pemimpin atas segenap rakyatnya harus diarahkan pada kemaslahatan). Kaidah ini selain berlaku pada pemimpin struktural—Presiden, Gubernur, dan lain-lain—juga bisa dianalogikan dengan pemimpin agama, dalam hal ini ulama, agar kemudian petuah, fatwa, dan lain yang bersumber darinya berdampak maslahat, bukan mafsadat.

Selain itu ada kaidah ma la yadriku kulluh la yutraku kulluh (Perbuatan yang tak dapat Anda lakukan secara keseluruhan, tak boleh Anda tinggalkan seluruhnya). Inilah wajah fikih yang gradual, tidak serampangan. Memberi teladan kebaikan ajaran Islam kepada masyarakat awam, dengan tidak memaksa, semampunya, dan bertahap.

Karena, al-Khair al-Muta’adiy afdhalu min al-Qashir (Sebuah perbuatan yang kebaikannya menjalar, itu lebih utama ketimbang perbuatan yang kebaikannya tak menjalar). Maka wajah fikih mestilah menabur kebaikan, bagi umat. Ya, atas nama orang banyak, bukan atas kepentingan pribadi, politik, golongan, agama tertentu, dan lainnya.

Dari beberapa kaidah usul fikih di atas, fikih yang mesti dikembangkan untuk konteks sekarang dan masa depan, adalah fikih yang punya karakter relatif, fleksibel, plural, dialogis, dan dinamis, sebagaimana fitrahnya. Karakter-karakter tersebut yang kemudian mengantarkan fikih kepada cita-cita sosial masyarakat di atas pundi-pundi universal; keadilan, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, kebijaksanaan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Pundi universal yang terakhir ini amat urgen, betapa agama (fikih) diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Sebab parameter dari kemaslahatan manusia adalah kemanusiaan itu sendiri bukan ketuhanan. Rasa-rasanya—mungkin—ini maksud ketika Gus Dur melontarkan jargon “Tuhan tidak perlu dibela”.
Salam

Ditulis Oleh : Tiara ~ DosoGames

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Paradigma Fikih Sosial Baru dan Dinamis yang ditulis oleh djavaspot yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di djavaspot

0 komentar:

Post a Comment

Back to top