Ragam Fikih Sosial

Ragam Fikih Sosial
Oleh: Mamang M. Haerudin

Pada perkembangannya, fikih memiliki wajah warna-warni, sesuai dengan konteks sosial apa ia dilekatkan. Selain karena tujuan fikih itu sendiri, juga karena ia merupakan respon tanggap fikih terhadap beragamnya persoalan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa ragam itu bisa saya sebutkan misalnya, fikih perempuan, fikih kebangsaan, fikih anti-trafiking, fikih aborsi, fikih seksualitas, dan lain sebagainya.

Dan untuk gambaran, saya ambil dua dari sekian banyak ragam fikih sosial yang ada; pertama, fikih perempuan. Dan kedua, fikih kebangsaan.


1. Fikih Perempuan

Adalah fikih yang berorientasi menegakkan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan untuk perempuan di atas kepentingan apapun. Fikih perempuan menjadi fikih sosial substantif ketika ia dihadapkan dengan fakta diskriminatif dan kultur patriarkhi. Sebuah konstruksi sosial-budaya yang di dalamnya kokoh tertancap cara pandang “serba laki-laki”. Akibatnya, perempuan tidak lebih dianggap sebagai pihak kelas dua, inferior, marginal, konco wingking, dan lain-lain atas otoritas laki-laki.

Perempuan dilarang berkiprah di luar rumah, entah untuk ibadah maupun muamalah, tanpa ada izin dan kesertaan laki-laki di sampingnya. Maka sudah berabad-abad lamanya sekian banyak perempuan (di) bodoh (kan) oleh laki-laki. Bukan tanpa alasan, tidak tanggung-tanggung, pelarangan dan tindak diskriminatif itu berdalil teks-teks keagamaan.

Semacam ada angin segar, tatkala bermuculannya ulama-ulama ramah perempuan seperti; KH. Husein Muhammad, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dan sejumlah nama lainnya. KH. Husein Muhammad misalnya, dalam bukunya yang berjudul Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001), secara mengagumkan memberikan pembelaan atas hak dan keberadaan perempuan yang sudah sejak lama dikerangkeng dan ditimbun. Begitupun Prof. Dr. Nasaruddin Umar dengan bukunya Fikih Wanita untuk Semua (2010). Dan masih banyak lagi.

Pada intinya, baik KH. Husein Muhammad, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, dan ulama progresif lainnya, menyatakan dan menyepakati bahwa perempuan dan laki-laki adalah manusia ciptaan Tuhan, yang sedari adanya didudukkan secara setara dan sederajat. Tak ada beda kecuali dari segi fisik-biologis. Oleh karena itu, kita mesti paham mana itu kodrat, mana itu adat. Mana itu seks, mana itu gender. Prof. Dr. Nasaruddin Umar misalnya berpendapat, bahwa studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyah) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukuriyah) dan perempuan (femaleness/unutsah).

Maka dengan demikian, atas hal paling mendasar tapi mendalam itulah KH. Husein Muhammad berani melakukan upaya pembongkaran budaya diskriminatif dan patriarkhi melalui fikih perempuannya yang berwawasan gender. Seperti misalnya, ketika ulama arus utama melarang Imam shalat, beliau justru membolehkannya. Juga, mengkritik habis praktik khitan perempuan, hak waris, kontekstualisasi makna aurat dan usia menikah, kesehatan reproduksi, hingga mengkritik habis kitab Uqud al-Lujaiyn, satu kitab yang gandrung diaji di Pesantren, yang banyak memuat pandangan diskriminatif terhadap perempuan (istri).



2. Fikih Kebangsaan

Selain fikih perempuan, adalah fikih kebangsaan yang keberadaanya amat diperlukan untuk konteks kekinian. Betapa tidak, Indonesia yang sejak awalnya berdiri atas ijma’ Negara-bangsa, kini sedang dirongrong dengan propaganda Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Para penganut Islam formalis-fundamentalis umumnya menganggap bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan di saat yang sama Islam wajib dijadikan sebuah sistem pemerintahan yang ideal di atas segalanya. Dengan anggapan semacam itu, kelompok demikian bisanya getol mengkafirkan demokrasi dan para penganutnya, termasuk Indonesia.

Beberapa kelompok yang ditengarai berideologi Islam formalis-fundamentalis di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indoneisa (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Forum Umat Islam (FUI), dan lain sebagainya. Umumnya mereka punya keyakinan, bahwa selama Indonesia didirikan atas sistem kufur demokrasi, maka tunggulah murka Tuhan, karena tidak menaati syariat Islam. Salah satu infiltrasi “mabuk syariat Islam” adalah menjamurnya perda-perda syariat di pelbagai daerah.

Mereka melupakan ijma’ dan warisan para pendahulu (founding fathers); Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, yang lazim dikenal empat pilar kebangsaan. Para penganut Islam formalis-fundamentalis sama sekali tidak melihat andil, sekurangnya, NU dan Muhammadiyah sebagai ormas representasi umat Muslim Indonesia, yang hingga saat ini dan selamanya akan terus kukuh dengan warisan empat pilar kebangsaan itu.

Bahkan, seperti akhir-akhir ini menyeruak mulai dari tindak kekerasan dan intoleransi hingga radikalisme dan terorisme, embrionya—selain banyak aspek lain—adalah bermula dari pemahaman yang formalis-fundamentalis terhadap agama dan teks-teksnya. Perbedaan (sebagai konsekuensi logis dari pluralitas), sebagaimana Nabi Saw bersabda, sudah tak diindahkan dan menjadi rahmat, ia malah menyulut saling sesat-menyesatkan, konflik, dan tindak destruktif lainnya, menjelma menjadi fitnah dan laknat. Berkenaan dengan maraknya radikalisme dan terorisme atas nama jihad, John L. Esposito (2002)—salah seorang pemikir Barat—justru berempati kepada Islam, ia ingin mengabarkan kepada dunia Barat bahwa teori jihad dalam al-Qur’an pada dasarnya bersifat defensif, lihat misalnya QS. Al-Hajj [22]: 39. Islam, masih menurutnya, tidak berwajah tunggal dan monolitik.

Maka, tak ada solusi lain, bahwa kita harus kembali kukuh kepada empat pilar kebangsaan, untuk Islam Indonesia yang toleran dan inklusif. Islam Indonesia yang mampu beradaptasi dengan warisan budaya bangsa, satu sinergis dengan kalangan berlainan agama atau keyakinan, dan saling menghargai atas perbedaan yang ada untuk bersatu.
Salam

Ditulis Oleh : Tiara ~ DosoGames

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Ragam Fikih Sosial yang ditulis oleh djavaspot yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di djavaspot

0 komentar:

Post a Comment

Back to top