MENUAI HIKMAH TOLERANSI UNTUK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN
Oleh: Mamang M. Haerudin
Islam adalah agama kebebasan dan pembebasan. Sekalipun secara literal Islam memiliki aturan yang bersifat mengikat, namun, Islam tetap memberikan kebebasan dalam menafsirkan aturan itu, sesuai dengan konteks zamannya. Salah satu ajaran utama dalam Islam yang memiliki spirit kebebasan dan pembebasan adalah toleransi. Dalam hal ini, toleransi demi terwujudnya keharmonisan umat beragama dan semua umat manusia pada umumnya. Ya, menuai makna toleransi dalam menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sebuah keharusan. Terlebih jika dihadapkan dengan sejumlah fenomena-fenomena intoleransi disekeliling kita dewasa ini, keberadaannya tidak jarang menyebabkan kegentingan. Tak pelak akibat, tindakan-tindakan intoleransi; mulai dari intimidasi hingga terorisme—di Indonesia khususnya—telah menjadi laris dari sebagian kelompok atau ormas.
Perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bingkai toleransi sebetulnya Islam telah memberikan legetimasi eksplisit, seperti misalnya tertera dalam QS. Al-Kahfi [18], 29, Tuhan berfirman: “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) hendaklah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan neraka bagi orang-orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih, yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
Dari ayat diatas, Tuhan benar-benar hendak “menganjurkan” untuk membebaskan manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam sabda tersebut, Tuhan memberikan pilihan antara iman dan kafir. Konsekuensi dari ayat tersebut diatas, menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan dalam keseragaman beragama dan berkeyakinan, melainkan dalam keberagaman sebagai sunnatullah dan manusiawi yang tak dapat dibantah oleh siapapun.
Hikmah lain yang terkandung didalamnya, bahwa ini merupakan wujud ke-Mahakuasaan Tuhan dalam berkehendak. Juga berarti, Tuhan sama sekali tidak memiliki ketergantungan terhadap makhluk-Nya (qiyamuhu binafsihi), ia berdiri sendiri dan tidak bergantung apalagi tergantung makhluk-Nya.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat dijamin keberadaannya oleh konstitusi, seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal ini, (dalam konteks Indonesia) seluruh warga Indonesia dengan berbagai macam latar belakang agama, suku, ras, budaya, jenis kelamin dan sebagainya, wajib dipenuhi dan dilindungi hidup beserta hak-haknya oleh Negara. Berkait kelindan dengan pasal ini, Djohan Effendi—Cendekiawan Muslim Indonesia—berpendapat bahwa pluralitas agama (dan keyakinan) ini adalah anugerah Tuhan yang seyogyanya harus disyukuri.
Dalam pada itu, jika kemudian ada individu, kelompok, ataupun ormas yang mengklaim sebagai pihak yang paling benar, sementara yang lain salah, hanya karena ia beragama Islam ataupapun lainnya, maka sesungguhnya ia telah mengambil alih wewenang Tuhan sebagai penentu mutlak kebenaran. Dengan demikian, persoalan label sesat, kafir, dan sejenisnya oleh kelompok tertentu terhadap yang lain (yang berbeda), Imam Al-Qurtubi pun memandang bahwa ayat tadi jelas-jelas telah membuktikan, Tuhanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam menentukan kebenaran keberagamaan dan keyakinan seseorang.
Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam karya masterpiece-nya Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009), sebagaimana mengutip pendapatnya Jawdat Said (dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 256) menyatakan bahwa, tidak ada pemaksaan dalam agama. Dengan interpretasi yang cukup logis, lanjut Moqsith, ketimbang para mufasir yang lain, Jawdat Said menguraikan yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghay (kesesatan) dan ini adalah jalan salah. Sedang yang dimaksud dengan (alla ikrah) adalah al-rusyd (kebenaran) dan inilah jalan yang benar (al-thariq al-shahih). Lebih lanjut Jawdat Said menafsir kata “thaguth” sebagai orang-orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dari sini, kita dapat melihat secara jelas perbedaaan antara paksaan dan pemaksaan.
Gerakan intoleransi seperti diatas, ditengarai Zuhairi Misrawi berasal dari genderang Wahabisme, paham yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke 18. Sebagaimana diketahui, gerakan Wahabisme ini mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang bertolak belakang dengan kalangan moderat. Paham yang mengarah pada puritanisme disatu sisi, dan ekstrimisme disisi lain.
Kalangan wahabi juga mempunyai slogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, secara kasat mata tidak begitu bermasalah, karena sudah menjadi sebuah keharusan umat Muslim untuk berpegang pada dua sumber otoritatif itu. Namun disisi lain, kekeliruan terbesar dalam memaknai “kembali” kepada Al-Qur’an dan sunnah versi Wahabi lah yang akan menggiring pada sebuah nalar dan sikap yang bersifat puritanistik-absolut. Dengan mengklaim hanya pendapat kelompoknya (Wahabi) yang benar, sementara pendapat kelompok lain dianggap salah, sesat, bahkan kafir.
Sikap ekslusif-absolut seperti ini pula lah yang kemudian berimplikasi pada sikap membenci kalangan non-Muslim, dengan alibi bahwa non-Muslim adalah kelompok kafir sehingga sebagian umat Muslim melarang bergaul dengan non-Muslim ataupun dengan komunitas Islam yang berbeda mazhab (aliran), karena sebab mereka adalah penganut jalan kesesatan dan ahli neraka. Pandangan semacam ini tentu saja bukan hanya sebuah bentuk ironi melainkan pula telah bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]: 113-114, yang berbunyi: “Mereka tidaklah sama, diantara orang-orang ahlul kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak pada kebajikan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang shaleh.” Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa, sekalipun (secara literal) tidak resmi beragama Islam, namun perilaku mereka (ahlul kitab) adalah cerminan perilaku shalih dalam Islam.
Kembali pada persoalan intoleransi di Indonesia, sebagaimana mengacu pada catatan Moderate Muslim Society (MMS) sepanjang tahun 2010, wajah intoleransi telah terjadi 81 kasus dengan berbagai karakteristiknya. Dari berbagai karakteristik wajah intoleransinya itu, ada benang merah yang dapat ditarik dan bertemu pada satu kesimpulan, yakni ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog secara dingin dan terbuka. Kenyataan pahit ini lagi-lagi (masih menurut catatan MMS) kasus-kasus yang terkait dengan atas nama agama, dengan capaian 73% dari 81 kasus tersebut diantaranya menimpa naas kelompok Kristen dan Ahmadiyah.
Kalau sudah demikian, benarkah Islam melegitimasi intoleransi? Jika ya, apakah gunanya beragama jika hanya membuat orang lain terancam? Jika tidak, sikap apa yang perlu dibangun generasi muda Muslim serta umumnya masyarakat Indonesia? Tak bisa ditawar lagi, bahwa peran yang harus secepatnya diambil adalah toleransi sebagai bentuk sikap kaum moderat, terutama dalam mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang membawa rahmat bagi semesta. Sebab, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walzer (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peacefull coeexistensi) diantara pelbagai kelompok masyarakat perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas.
Sebagaimana Walzer, Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracy (2007), juga memberikan pandangan lanjutan yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.
Dari pandangan tokoh diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa transformasi dari intoleransi ke toleransi merupakan sebuah keniscayaan, terutama dalam membangun sebuah tatanan kehidupan dan peradaban sebuah bangsa. Meski mengambil jalan toleransi bukan hal yang mudah, namun setidaknya kita dapat memulai sedari munculnya kesadaran tentang implikasi negatif dari tindakan intoleran.
Kalau ditelusuri dari akar katanya, toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”, yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Oleh karena itu Zuhairi Misrawi (2010)—sebagaimana mengutip Asyraf Abdul Wahhab—memberikan penjabaran terkait toleransi sebagai sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.
Sedangkan dalam bahasa Arab, toleransi sepadan dengan kata al-tasamuh, dimana toleransi merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang trans-historis dan trans ideologis, yang kedudukannya sejajar dengan pokok-pokok ajaran Islam lain seperti rahmat (kasih sayang), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), dan lain sebagainya. Dari telaah semacam ini, umat Muslim wajib bukan hanya menyampaikan tetapi juga melaksanakan ajaran toleransi untuk diketengahkan kepada masyarakat luas. Karena bagaimanapun, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukan untuk membela satu golongan tertentu atau mendiskriminasi golongan tertentu, justru hendak mempersatukan umat manusia di tengah keanekaragaman, karena keanekaragaman dan perbedaan bukan penghalang, sebaliknya akan menjadi pengokoh untuk semakin terpupuknya rasa persatuan dan kesatuan. Sebab yang demikian inilah sejatinya Islam rahmatan lil’alamin. Islam yang dapat hidup secara damai dan berdampingan dengan apapun komunitasnya (agama dan keyakinannya) dan siapapun orangnya.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi siapapun untuk kemudian membenci orang lain hanya karena ia berbeda identitas, terlebih bukan pemeluk agama Islam. Dari uraian bahaya laten intoleransi hingga upaya transformasi intoleransi ke toleransi, penulis merumuskan beberapa upaya-upaya yang dapat dijadikan sebagai kran pembuka sekaligus peneguh dalam membangun nalar kritis dalam mewujudkan toleransi atas kebebasan beragama dan keyakinan.
Pertama, melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an maupun Sunnah yang (secara literal/kasat mata) bernuansa intoleransi, menuju tafsir yang bernuansa toleran dan moderat. Upaya ini dapat dilakukan dengan menafsirkan al-Qur’an dengan mempertimbangkan sebab-sebab turun (asbab al-Nuzul) dan kontekstualisasinya.
Kedua, bersikap inklusif dan respect terhadap penganut agama dan keyakinan lain, yakni dengan mendudukkan semua manusia (apapun latar belakangnya) dengan setara dan ia berhak menentukan nasib atas dirinya sendiri, tanpa ada pemaksaan. Dari poin penting ini, mempunyai konsekuensi logis bahwa sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, sudah sepatutnya saling melindungi dan menghargai satu sama lain, antara Muslim dengan non-Muslim. Dari sikap terbuka dan respect ini pula, akan dapat mengeliminir sikap menutup diri, mengasingkan dari golongan yang berbeda ataupun sikap esklusif lainnya.
Ketiga, melakukan dialog yang santun. Dengan berdialog, satu sama lain akan terjalin sebuah komunikasi yang bersifat simbiosa mutualisma, saling menguntungkan, saling melengkapi satu sama lain, saling menegur sapa jika ada kekeliruan. Mengutip pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid) bahwa dengan dialog akan terbentuk sebuah persilangan budaya hibrida, yakni terjalinnya sebuah kebudayaan yang unggul untuk kepentingan perdamaian dan peradaban bangsa. Dari dialog pula, akan membuahkan sikap saling pengertian terutama dalam menyikapi keberbedaan, untuk kemudian dapat terciptanya budaya toleransi diatas perbedaan dan keberagaman.
Walhasil, tantangan yang akan dihadapi generasi muda Muslim dan juga masyarakat pada umumnya akan semakin berat, karena koridornya tidak hanya sebatas dalam intern umat segama, beragama di Indonesia, melainkan pula hidup dalam konteks global-universal. Genderang Islam toleran dan moderat sebagaimana misinya rahmatan lil’alamin, sejatinya dibumikan, entah dalam olah wacana maupun gerakan pemberdayaan masyarakat. Demikian.
Oleh: Mamang M. Haerudin
Islam adalah agama kebebasan dan pembebasan. Sekalipun secara literal Islam memiliki aturan yang bersifat mengikat, namun, Islam tetap memberikan kebebasan dalam menafsirkan aturan itu, sesuai dengan konteks zamannya. Salah satu ajaran utama dalam Islam yang memiliki spirit kebebasan dan pembebasan adalah toleransi. Dalam hal ini, toleransi demi terwujudnya keharmonisan umat beragama dan semua umat manusia pada umumnya. Ya, menuai makna toleransi dalam menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sebuah keharusan. Terlebih jika dihadapkan dengan sejumlah fenomena-fenomena intoleransi disekeliling kita dewasa ini, keberadaannya tidak jarang menyebabkan kegentingan. Tak pelak akibat, tindakan-tindakan intoleransi; mulai dari intimidasi hingga terorisme—di Indonesia khususnya—telah menjadi laris dari sebagian kelompok atau ormas.
Perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bingkai toleransi sebetulnya Islam telah memberikan legetimasi eksplisit, seperti misalnya tertera dalam QS. Al-Kahfi [18], 29, Tuhan berfirman: “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) hendaklah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan neraka bagi orang-orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih, yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
Dari ayat diatas, Tuhan benar-benar hendak “menganjurkan” untuk membebaskan manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam sabda tersebut, Tuhan memberikan pilihan antara iman dan kafir. Konsekuensi dari ayat tersebut diatas, menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan dalam keseragaman beragama dan berkeyakinan, melainkan dalam keberagaman sebagai sunnatullah dan manusiawi yang tak dapat dibantah oleh siapapun.
Hikmah lain yang terkandung didalamnya, bahwa ini merupakan wujud ke-Mahakuasaan Tuhan dalam berkehendak. Juga berarti, Tuhan sama sekali tidak memiliki ketergantungan terhadap makhluk-Nya (qiyamuhu binafsihi), ia berdiri sendiri dan tidak bergantung apalagi tergantung makhluk-Nya.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat dijamin keberadaannya oleh konstitusi, seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal ini, (dalam konteks Indonesia) seluruh warga Indonesia dengan berbagai macam latar belakang agama, suku, ras, budaya, jenis kelamin dan sebagainya, wajib dipenuhi dan dilindungi hidup beserta hak-haknya oleh Negara. Berkait kelindan dengan pasal ini, Djohan Effendi—Cendekiawan Muslim Indonesia—berpendapat bahwa pluralitas agama (dan keyakinan) ini adalah anugerah Tuhan yang seyogyanya harus disyukuri.
Dalam pada itu, jika kemudian ada individu, kelompok, ataupun ormas yang mengklaim sebagai pihak yang paling benar, sementara yang lain salah, hanya karena ia beragama Islam ataupapun lainnya, maka sesungguhnya ia telah mengambil alih wewenang Tuhan sebagai penentu mutlak kebenaran. Dengan demikian, persoalan label sesat, kafir, dan sejenisnya oleh kelompok tertentu terhadap yang lain (yang berbeda), Imam Al-Qurtubi pun memandang bahwa ayat tadi jelas-jelas telah membuktikan, Tuhanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam menentukan kebenaran keberagamaan dan keyakinan seseorang.
Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam karya masterpiece-nya Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009), sebagaimana mengutip pendapatnya Jawdat Said (dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 256) menyatakan bahwa, tidak ada pemaksaan dalam agama. Dengan interpretasi yang cukup logis, lanjut Moqsith, ketimbang para mufasir yang lain, Jawdat Said menguraikan yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghay (kesesatan) dan ini adalah jalan salah. Sedang yang dimaksud dengan (alla ikrah) adalah al-rusyd (kebenaran) dan inilah jalan yang benar (al-thariq al-shahih). Lebih lanjut Jawdat Said menafsir kata “thaguth” sebagai orang-orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dari sini, kita dapat melihat secara jelas perbedaaan antara paksaan dan pemaksaan.
Gerakan intoleransi seperti diatas, ditengarai Zuhairi Misrawi berasal dari genderang Wahabisme, paham yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke 18. Sebagaimana diketahui, gerakan Wahabisme ini mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang bertolak belakang dengan kalangan moderat. Paham yang mengarah pada puritanisme disatu sisi, dan ekstrimisme disisi lain.
Kalangan wahabi juga mempunyai slogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, secara kasat mata tidak begitu bermasalah, karena sudah menjadi sebuah keharusan umat Muslim untuk berpegang pada dua sumber otoritatif itu. Namun disisi lain, kekeliruan terbesar dalam memaknai “kembali” kepada Al-Qur’an dan sunnah versi Wahabi lah yang akan menggiring pada sebuah nalar dan sikap yang bersifat puritanistik-absolut. Dengan mengklaim hanya pendapat kelompoknya (Wahabi) yang benar, sementara pendapat kelompok lain dianggap salah, sesat, bahkan kafir.
Sikap ekslusif-absolut seperti ini pula lah yang kemudian berimplikasi pada sikap membenci kalangan non-Muslim, dengan alibi bahwa non-Muslim adalah kelompok kafir sehingga sebagian umat Muslim melarang bergaul dengan non-Muslim ataupun dengan komunitas Islam yang berbeda mazhab (aliran), karena sebab mereka adalah penganut jalan kesesatan dan ahli neraka. Pandangan semacam ini tentu saja bukan hanya sebuah bentuk ironi melainkan pula telah bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]: 113-114, yang berbunyi: “Mereka tidaklah sama, diantara orang-orang ahlul kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak pada kebajikan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang shaleh.” Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa, sekalipun (secara literal) tidak resmi beragama Islam, namun perilaku mereka (ahlul kitab) adalah cerminan perilaku shalih dalam Islam.
Kembali pada persoalan intoleransi di Indonesia, sebagaimana mengacu pada catatan Moderate Muslim Society (MMS) sepanjang tahun 2010, wajah intoleransi telah terjadi 81 kasus dengan berbagai karakteristiknya. Dari berbagai karakteristik wajah intoleransinya itu, ada benang merah yang dapat ditarik dan bertemu pada satu kesimpulan, yakni ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog secara dingin dan terbuka. Kenyataan pahit ini lagi-lagi (masih menurut catatan MMS) kasus-kasus yang terkait dengan atas nama agama, dengan capaian 73% dari 81 kasus tersebut diantaranya menimpa naas kelompok Kristen dan Ahmadiyah.
Kalau sudah demikian, benarkah Islam melegitimasi intoleransi? Jika ya, apakah gunanya beragama jika hanya membuat orang lain terancam? Jika tidak, sikap apa yang perlu dibangun generasi muda Muslim serta umumnya masyarakat Indonesia? Tak bisa ditawar lagi, bahwa peran yang harus secepatnya diambil adalah toleransi sebagai bentuk sikap kaum moderat, terutama dalam mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang membawa rahmat bagi semesta. Sebab, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walzer (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peacefull coeexistensi) diantara pelbagai kelompok masyarakat perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas.
Sebagaimana Walzer, Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracy (2007), juga memberikan pandangan lanjutan yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.
Dari pandangan tokoh diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa transformasi dari intoleransi ke toleransi merupakan sebuah keniscayaan, terutama dalam membangun sebuah tatanan kehidupan dan peradaban sebuah bangsa. Meski mengambil jalan toleransi bukan hal yang mudah, namun setidaknya kita dapat memulai sedari munculnya kesadaran tentang implikasi negatif dari tindakan intoleran.
Kalau ditelusuri dari akar katanya, toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”, yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Oleh karena itu Zuhairi Misrawi (2010)—sebagaimana mengutip Asyraf Abdul Wahhab—memberikan penjabaran terkait toleransi sebagai sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.
Sedangkan dalam bahasa Arab, toleransi sepadan dengan kata al-tasamuh, dimana toleransi merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang trans-historis dan trans ideologis, yang kedudukannya sejajar dengan pokok-pokok ajaran Islam lain seperti rahmat (kasih sayang), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), dan lain sebagainya. Dari telaah semacam ini, umat Muslim wajib bukan hanya menyampaikan tetapi juga melaksanakan ajaran toleransi untuk diketengahkan kepada masyarakat luas. Karena bagaimanapun, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukan untuk membela satu golongan tertentu atau mendiskriminasi golongan tertentu, justru hendak mempersatukan umat manusia di tengah keanekaragaman, karena keanekaragaman dan perbedaan bukan penghalang, sebaliknya akan menjadi pengokoh untuk semakin terpupuknya rasa persatuan dan kesatuan. Sebab yang demikian inilah sejatinya Islam rahmatan lil’alamin. Islam yang dapat hidup secara damai dan berdampingan dengan apapun komunitasnya (agama dan keyakinannya) dan siapapun orangnya.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi siapapun untuk kemudian membenci orang lain hanya karena ia berbeda identitas, terlebih bukan pemeluk agama Islam. Dari uraian bahaya laten intoleransi hingga upaya transformasi intoleransi ke toleransi, penulis merumuskan beberapa upaya-upaya yang dapat dijadikan sebagai kran pembuka sekaligus peneguh dalam membangun nalar kritis dalam mewujudkan toleransi atas kebebasan beragama dan keyakinan.
Pertama, melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an maupun Sunnah yang (secara literal/kasat mata) bernuansa intoleransi, menuju tafsir yang bernuansa toleran dan moderat. Upaya ini dapat dilakukan dengan menafsirkan al-Qur’an dengan mempertimbangkan sebab-sebab turun (asbab al-Nuzul) dan kontekstualisasinya.
Kedua, bersikap inklusif dan respect terhadap penganut agama dan keyakinan lain, yakni dengan mendudukkan semua manusia (apapun latar belakangnya) dengan setara dan ia berhak menentukan nasib atas dirinya sendiri, tanpa ada pemaksaan. Dari poin penting ini, mempunyai konsekuensi logis bahwa sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, sudah sepatutnya saling melindungi dan menghargai satu sama lain, antara Muslim dengan non-Muslim. Dari sikap terbuka dan respect ini pula, akan dapat mengeliminir sikap menutup diri, mengasingkan dari golongan yang berbeda ataupun sikap esklusif lainnya.
Ketiga, melakukan dialog yang santun. Dengan berdialog, satu sama lain akan terjalin sebuah komunikasi yang bersifat simbiosa mutualisma, saling menguntungkan, saling melengkapi satu sama lain, saling menegur sapa jika ada kekeliruan. Mengutip pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid) bahwa dengan dialog akan terbentuk sebuah persilangan budaya hibrida, yakni terjalinnya sebuah kebudayaan yang unggul untuk kepentingan perdamaian dan peradaban bangsa. Dari dialog pula, akan membuahkan sikap saling pengertian terutama dalam menyikapi keberbedaan, untuk kemudian dapat terciptanya budaya toleransi diatas perbedaan dan keberagaman.
Walhasil, tantangan yang akan dihadapi generasi muda Muslim dan juga masyarakat pada umumnya akan semakin berat, karena koridornya tidak hanya sebatas dalam intern umat segama, beragama di Indonesia, melainkan pula hidup dalam konteks global-universal. Genderang Islam toleran dan moderat sebagaimana misinya rahmatan lil’alamin, sejatinya dibumikan, entah dalam olah wacana maupun gerakan pemberdayaan masyarakat. Demikian.
0 komentar:
Post a Comment