Kembali Kepada Komitmen
Empat Pilar
Oleh: Mamang M. Haerudin
Snow, Worden, Rochford
and Benford (1986) menjabarkan tentang konsep “frame anlignment”, dimana
orientasi interpretasi, kepentingan, nilai-nilai, kepercayaan, individu (dalam
hal ini partisipan aktif) dan tujuan ideologi dari organisasi adalah sebangun
dan saling melengkapi. Sehingga itu, secara psiko-sosiologis sikap ini yang
begitu vital dalam menimbulkan gerakan dan aksi radikalisme.
Adalah sebuah keharusan,
dengan bahu membahu mencari solusi dan upaya-upaya yang mengarah agar
mata rantai radikalisme dapat segera diputuskan. Mengacu pada salah satu hasil
keputusan Muktamar NU ke 32 di Makasar, sebagaimana pula berkali-kali
disampaikan oleh Ketua umum PBNU terpilih—Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj,
MA—diberbagai tempat dan kesempatan, bahwa dalam menyikapi sejumlah tindak
kekerasan hingga terorisme adalah dengan kembali pada komitmen bersama—dalam konteks
kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama—yaitu dengan tetap teguh dan
memperkokoh empat pilar diantaranya NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka
Tunggal Ika.
Melihat tendensi seperti
ini Earl Conteh-Morgan dalam Collective Political Violence (2004)
membentangkan sejumlah motif yang bisa memproduksi terorisme. Pertama,
modernisasi dan urbanisasi. Kedua, budaya kekerasan yang dianggap sudah
mentradisi. Ketiga, pemerintah yang tidak begitu komitmen terhadap
pemberantasan terorisme. Keempat, akumulasi penindasan, peminggiran, dan
penderitaan.
Dari berbagai motif
radikalisme dan terorisme diatas, memperkokoh kembali komitmen empat pilar
dirasakan paling efektif dan akan semakin menemukan signifikansinya bukan hanya
tatkala dihadapkan dengan sejumlah fenomena radikalisme yang banyak menyulut
keresahan dan kegelisahan publik, tetapi juga demi masa depan Islam Indonesia
dengan karakteristiknya yang santun dan toleran, yang telah menjadi fondasi
kuat jauh sebelum bangsa ini merdeka.
Keputusan kompromistis founding
father’s soal NKRI, selain dicoreng oleh sejumlah aksi radikal, ia kini
kembali berhadapan sengit dengan genderang dan tabuhan Negara Islam atau Khilafah
Islamiyah. Dari kenyataan NKRI versus Negara Islam (Khilafah Islamiyah)
ini, berbuntut pula pada upaya “peyingkiran” Pancasila sebagai landasan
ideologi, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, dan Bhineka Tunggal Ika
sebagai landasan berkehidupan. Sehingga alih-alih mereka kemudian menawarkan
dengan mengajak seluruh umat Islam di Indonesia dan dunia untuk kembali pada
Al-Qur’an dan Sunnah, tentunya versi “mereka”.
Dari wujud konkrit
fenomena tersebut dan dari berbagai karakteristik wajah intoleransinya itu, ada
benang merah yang dapat ditarik, dan bertemu pada satu kesimpulan, yakni
ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog secara dingin dan
terbuka, atas inkonsistensi pada bangunan NKRI, Pancasila, UUD 19545, dan
Bhineka Tunggal Ika. Padahal, meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid)
bahwa dengan melalui dialog, memungkinkan terjadinya cultural cross
fertilization (penyuburan silang budaya) yang meniscayakan budaya lokal dan
nasional hibrida yang lebih unggul dan tangguh. Lepas dari itu, dari sini
nampak jelas bahwa kelompok Islam radikal mempunyai karakteristik berikut
kecenderungan yang eksklusif, intotelan, dan anti pluralisme dalam menyikapi kompleksitas
(pluralitas) kehidupan.
Ada semacam phobia
terhadap non Muslim terutama kepada umat Nasrani dan Yahudi. Padahal dalam
kacamata (sosio-historis) Said Aqiel Siradj, bahwa komunitas yang dipimpin Nabi
Muhammad saw saat hijrah ke Madinah merupakan masyarakat pluralistik meliputi
pemeluk Yahudi, nasrani, Islam, dan musyrik. Mereka semua hidup bersahabat dan
berdampingan tanpa menyoal agama dan keyakinan. Bangunan “Negara” itupun juga
tidak berdasar teokrasi atau Negara agama, akan tetapi dibawah panji “piagam
Madinah”.
Wal hasil, tak ada alasan
bagi seseorang Muslim membenci orang lain karena ia bukan penganut agama Islam.
Membiarkan orang lain (al-akhar) tetap memeeluk agama non-Islam adalah
bagian dari perintah Islam sendiri.
Oleh karena itu, tidak
ada jalan lain kecuali dengan kembali pada nilai-nilai luhur yang terkandung
didalam empat pilar, yakni dengan kembali mengacu pada bangunan kompromistis
NKRI sebagai wadah pemersatu bangsa, Pancasila sebagai wadah pemersatu ideologi,
UUD 1945 sebagai wadah pemersatu konstitusi, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai
pemersatu keanekaragaman yang ada dalam rahim Indonesia. Sebab, sikap komitmen
inilah yang telah dijalankan Nabi dan masyarakat Madinah yang pluralistik itu,
dimana ia tetap hidup berdampingan dalam naungan konstitusi Madinah. Maka dari
itu, upaya untuk meretas jalan radikalisme demi kembali menyulam dan merajut
persatuan dan kesatuan yang telah lama dibangun oleh para pendahulu (founding
father’s) merupakan tugas yang tidak berat yang harus menjadi komitmen dan
kewajiban bersama.
Artikel terkait:
Islam (Tauhid) dalam Meretas Jalan Radikalisme
Islam dan Potret Radikalisme
Gerakan Proaktif Perempuan dalam Meretas Jalan Radikalisme
Salam
Islam dan Potret Radikalisme
Gerakan Proaktif Perempuan dalam Meretas Jalan Radikalisme
0 komentar:
Post a Comment