Nabi Muhammad SAW dan Risalahnya
Oleh: Mamang M. Haerudin
Lalu, sebetulnya untuk
apa Nabi SAW ditakdirkan Allah SWT lahir kemuka bumi? Adakah maksud tertentu
dibalik itu semua? Hikmah apa yang dapat kita petik dari momen penting
kelahiran Nabi SAW ini? Pertanyaan mendasar, yang harus dapat direnungkan.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya berpendapat, sekurangnya, ada dua
hikmah atau pelajaran yang dapat dipetik, dibalik peristiwa sekaligus
peringatan Maulid Nabi SAW—terutama—untuk dijadikan bahan permenungan dalam membaca
kehidupan dalam konteks kekinian.
Pertama, adalah relasi
ketuhanan (habl minallah) yakni Tauhid. Ya, lahirnya Nabi SAW adalah
untuk menegakkan Tauhid, yakni memusnahkan segala bentuk kemusyrikan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, ajaran Tauhid (monotheisme) dalam Islam
merupakan ajaran paling pertama dan utama. Ia menyaratkan agar manusia bersaksi
demi Allah SWT dan Rasul-Nya, yang mafhum kita kenali dengan ikrar dua kalimat
syahadat; asyhadu anla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasulullah
(Aku bersasaksi tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad
utusan-Nya). Dari bunyi teks kalimat syahadat ini menunjukkan, sebuah larangan
menyekutukan Allah diatas kepentingan apapun. Makna kontekstualnya, tauhid juga
berarti bahwa, atas rahmat Allah, manusia hendaknya menegakkan persatuan dan
kesatuan. Kontekstualisasi tauhid ini didapat dari makna autentik tauhid itu
sendiri, yakni “satu”.
Kedua, adalah relasi
kemanusiaan (habl min al-nas) yakni moralitas. Selain sebagai penyampai
relasi ketuhanan, Nabi SAW bertugas menyampaikan relasi kemanusiaan, moralitas
adalah pangkal dari setiap ajaran tentang manusia dan kemanusiaan. Moralitas
merupakan ajaran yang memiliki kedudukan amat penting dalam Islam. Buktinya,
dalam sebuah sabdanya dinyatakan; innama buitstu liutammima makarim
al-Akhlaq (Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menegakkan moralitas
yang luhur). Jadi, apapun identitas—suku, ras, budaya, bahasa, warna kulit,
hingga agama sekalipun—yang melekat pada diri manusia, yakinlah bahwa
keberagaman dan perbedaan itu akan menyatu saat moralitas dalam bingkai
kemanusiaan dapat ditegakkan.
Dengan demikian,
merayakan kembali maulid Nabi SAW sejatinya adalah merenungkan kembali
ajaran-ajaran pokok Islam, sebagai agama yang selalu relevan dengan segala
konteks zaman. Begitupun dengan dua risalahnya tentang penyampai risalah
ketuhanan dan kemanusiaan, agar dapat ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat memperingati Maulid Nabi SAW 12 Rabi’ul Awal
1434 H. Wallahu’alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment