Islam Menggugat Poligami

Islam Menggugat Poligami
Oleh: Mamang M. Haerudin

Poligami merupakan problem sosial-keagamaan klasik yang selalu menarik untuk terus diperbincangkan, terutama bagi kalangan Muslim di tanah air. Sebagaimana diketahui bersama, konsep poligami (ta’adud al-Zaujat) dalam disiplin yurispundensi Islam (Fikih) lebih umum dipahami sebagai praktek pengumpulan dua sampai empat istri dalam waktu yang bersamaan oleh suami.

Penting dikemukakan, ayat al-Qur’an yang kerap dijadikan dalil dalam melegitimasi praktek poligami adalah QS. al-Nisa [4]: 3; “Wainkhiftum alla tuqshitu fi al-Yatama fankihu ma thaba lakum min al-Nisa matsna wa tsulasa wa ruba’, fainkhiftum alla ta’dilu fawahidatan aw ma malakat aimanukum, dzalika adnaa alla ta’ulu”. Prof. Dr. M. Quraish Sihab, menggarisbawahi terhadap ayat ini bahwa, ayat ini sama sekali tidak menganjurkan apalagi mewajibkan poligami. Senada dengan pendapat ini, KH. Husein Muhammad menegaskan, ruh sesungguhnya dari ayat poligami adalah bermakna monogami.
Menggugat poligami makin menemukan signifikansinya tatkala membaca QS. al-Nisa [4]: 129, dimana ayat ini secara eksplisit menyatakan kemustahilan seorang suami untuk dapat berbuat adil; “Dan kalian sekali-kali tidak dapat berlaku adil; walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Sekali lagi, ayat ini dapat dijadikan landasan bahwa sesungguhnya al-Qur’an (Islam) menolak poligami.
Disamping itu, kalau ditelusuri dari sisi sebab turunnya QS. al-Nisa [4]; 3 ini, ahli tafsir terkemuka Ibnu Jarir al-Thabari dengan mengutip para ahli seperti Siti ‘Aisyah (istri Nabi SAW) menyimpulkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim kaya. Dia ingin mengawini anak yatim tersebut dengan tujuan memperoleh kekayaannya sambil memperlakukannya dengan tidak wajar. Padahal itu, anak yatim tersebut tidak menyukainya.
Sementara Prof. Dr. Nasaruddin Umar berpendapat bahwa, dilihat dari konteks turunnya QS. al-Nisa [4]: 3, yaitu turun dalam suatu kondisi masyarakat yang betul-betul krisis karena umat Islam baru saja mengalami banyak kekalahan. Sesuai dengan tradisi perang di Jazirah Arab, yang bertanggung jawab untuk urusan perang adalah kaum laki-laki. Bisa dibayangkan dalam suasana perang ketika itu populasi laki-laki relatif berkurang, maka konsekuensi logisnya sejumlah perempuan menjadi janda dan dengan sendirinya populasi anak yatim piatu makin banyak.
Ada hal menarik sebagaimana dituturkan oleh Abu Zahrah, dimana ia justru memperhadapkan ayat ini dengan ayat terdahulu, dengan maksud bilangan dua, tiga, dan empat tersebut bukanlah menyatakan bilangan yang dapat direalisasikan tetapi hakikatnya adalah sebuah larangan, seperti misalnya sindiran Arab yang berbunyi: “If’al ma syi’ta” (kerjakanlah sekehendak hatimu), ungkapan ini berarti jangan lakukan perbuatan itu.
Dan dilain tempat, Prof. Dr. M. Quraish Shihab kembali memberikan catatan bahwa, kata khiftum—yang biasa diartikan takut, juga dapat berarti mengetahui, menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya—yang yatim maupun yang bukan—maka mereka itu tidak diperkenankan oleh ayat diatas melakukan poligami.
Sampai disini, sayapun tidak hendak menafikan jika hingga saat ini—masih ada—mereka yang bersikukuh terhadap praktek poligami—sebagaimana Nabi SAW pernah mempraktikannya—dan menganggapnya sebagai kesunahan.
Menanggapi penyikapan seperti ini, dalam hemat penulis, Nabi SAW memang berpoligami, namun demikian itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk mendukung poligami bagi umatnya, karena hal itu merupakan hak prerogatif yang secara khusus (hanya) diberikan kepadanya. Kenyataan tersebut dilakukan terutama untuk mengembangkan misi dakwah yang diembannya, seperti memberikan perlindungan dan pertolongan kepada anak yatim yang kehilangan ayahnya karena syahid di medan perang, memperkokoh ikatan persahabatan, dan mencegah terjadinya perpecahan konflik, serta untuk menarik suatu suku menjadi penganut agama Islam. Dan asal tahu saja, diantara sembilan istri Nabi SAW, hanya dua orang yang diantaranya yang gadis, selebihnya adalah janda dan kebanyakan sudah udzur.
Adalah merupakan salah satu misi hadirnya agama Islam yakni mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagiaan yang dibangun atas rasa cinta yang tulus antara seorang suami dan istri, dimana diantara keduanya tumbuh romantisme dan benih-benih kasih sayang yang tulus untuk berkomitmen menjaga keutuhan rumah tangganya hingga akhir hayat kelak. Sehingga, ada adagium dalam literatur agama yang menuturkan: “Laisa fi al-Qalbi hubbani wa la fi al-Wujud rabbani”, (Tidak ada didalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan).
Dengan demikian, inilah sesunggguhnya makna yang terkandung didalam tauhid cinta kepada pasangan yang sejalan dengan tauhid kita kepada Tuhan, yaitu menyatukan persepsi untuk tetap bekomitmen pada pasangan, seraya tetap mengharap ridla-Nya. Jikalau kenyataannya sudah demikian, kiranya tidak ada alasan lagi untuk kemudian melakukan praktik poligami atas dasar pandangan al-Qur’an maupun sunah. Wallahu ‘alam bi al-shawab.

Salam

Ditulis Oleh : Publisher Cirebon ~ DosoGames

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Islam Menggugat Poligami yang ditulis oleh djavaspot yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di djavaspot

0 komentar:

Post a Comment

Back to top