MENUAI
HIKMAH TOLERANSI UNTUK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN
Oleh: Mamang M.
Haerudin
Islam adalah agama
kebebasan dan pembebasan. Sekalipun secara literal Islam memiliki aturan yang
bersifat mengikat, namun, Islam tetap memberikan kebebasan dalam
menafsirkan aturan itu, sesuai dengan konteks zamannya. Salah satu ajaran utama
dalam Islam yang memiliki spirit kebebasan dan pembebasan adalah toleransi.
Dalam hal ini, toleransi demi terwujudnya keharmonisan umat beragama dan semua
umat manusia pada umumnya. Ya, menuai makna toleransi dalam menegakkan
kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sebuah keharusan. Terlebih jika
dihadapkan dengan sejumlah fenomena-fenomena intoleransi disekeliling kita
dewasa ini, keberadaannya tidak jarang menyebabkan kegentingan. Tak pelak
akibat, tindakan-tindakan intoleransi; mulai dari intimidasi hingga
terorisme—di Indonesia khususnya—telah menjadi laris dari sebagian kelompok
atau ormas.
Perihal kebebasan beragama
dan berkeyakinan dalam bingkai toleransi sebetulnya Islam telah memberikan
legetimasi eksplisit, seperti misalnya tertera dalam QS. Al-Kahfi [18], 29,
Tuhan berfirman: “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka
barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) hendaklah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan neraka bagi
orang-orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta
minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih,
yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat
yang paling jelek.”
Dari ayat diatas, Tuhan
benar-benar hendak “menganjurkan” untuk membebaskan manusia dalam beragama dan
berkeyakinan. Dalam sabda tersebut, Tuhan memberikan pilihan antara iman dan
kafir. Konsekuensi dari ayat tersebut diatas, menunjukkan bahwa manusia
tidak diciptakan dalam keseragaman beragama dan berkeyakinan, melainkan dalam
keberagaman sebagai sunnatullah dan manusiawi yang tak dapat dibantah oleh
siapapun.
Hikmah lain yang
terkandung didalamnya, bahwa ini merupakan wujud ke-Mahakuasaan Tuhan dalam
berkehendak. Juga berarti, Tuhan sama sekali tidak memiliki ketergantungan
terhadap makhluk-Nya (qiyamuhu binafsihi), ia berdiri sendiri dan tidak
bergantung apalagi tergantung makhluk-Nya.
Dalam konteks Indonesia,
kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat dijamin keberadaannya oleh
konstitusi, seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal
ini, (dalam konteks Indonesia) seluruh warga Indonesia dengan berbagai macam
latar belakang agama, suku, ras, budaya, jenis kelamin dan sebagainya, wajib
dipenuhi dan dilindungi hidup beserta hak-haknya oleh Negara. Berkait kelindan
dengan pasal ini, Djohan Effendi—Cendekiawan Muslim Indonesia—berpendapat bahwa
pluralitas agama (dan keyakinan) ini adalah anugerah Tuhan yang seyogyanya
harus disyukuri.
Dalam pada itu, jika
kemudian ada individu, kelompok, ataupun ormas yang mengklaim sebagai pihak
yang paling benar, sementara yang lain salah, hanya karena ia beragama Islam
ataupapun lainnya, maka sesungguhnya ia telah mengambil alih wewenang Tuhan
sebagai penentu mutlak kebenaran. Dengan demikian, persoalan label sesat,
kafir, dan sejenisnya oleh kelompok tertentu terhadap yang lain (yang berbeda),
Imam Al-Qurtubi pun memandang bahwa ayat tadi jelas-jelas telah membuktikan,
Tuhanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam menentukan kebenaran
keberagamaan dan keyakinan seseorang.
Sementara itu, Abdul
Moqsith Ghazali dalam karya masterpiece-nya Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009), sebagaimana mengutip pendapatnya Jawdat
Said (dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 256) menyatakan bahwa, tidak ada
pemaksaan dalam agama. Dengan interpretasi yang cukup logis, lanjut Moqsith,
ketimbang para mufasir yang lain, Jawdat Said menguraikan yang dimaksud dengan
pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghay (kesesatan) dan ini adalah jalan salah.
Sedang yang dimaksud dengan (alla ikrah) adalah al-rusyd (kebenaran) dan inilah
jalan yang benar (al-thariq al-shahih). Lebih lanjut Jawdat Said menafsir kata
“thaguth” sebagai orang-orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada
orang lain, dan membunuh karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Dari sini, kita dapat melihat secara jelas perbedaaan antara paksaan dan
pemaksaan.
Gerakan intoleransi
seperti diatas, ditengarai Zuhairi Misrawi berasal dari genderang Wahabisme,
paham yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke 18.
Sebagaimana diketahui, gerakan Wahabisme ini mempunyai
kecenderungan-kecenderungan yang bertolak belakang dengan kalangan moderat.
Paham yang mengarah pada puritanisme disatu sisi, dan ekstrimisme disisi lain.
Kalangan wahabi juga
mempunyai slogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, secara kasat mata tidak
begitu bermasalah, karena sudah menjadi sebuah keharusan umat Muslim untuk
berpegang pada dua sumber otoritatif itu. Namun disisi lain, kekeliruan
terbesar dalam memaknai “kembali” kepada Al-Qur’an dan sunnah versi Wahabi lah
yang akan menggiring pada sebuah nalar dan sikap yang bersifat
puritanistik-absolut. Dengan mengklaim hanya pendapat kelompoknya (Wahabi) yang
benar, sementara pendapat kelompok lain dianggap salah, sesat, bahkan kafir.
Sikap ekslusif-absolut
seperti ini pula lah yang kemudian berimplikasi pada sikap membenci
kalangan non-Muslim, dengan alibi bahwa non-Muslim adalah kelompok kafir
sehingga sebagian umat Muslim melarang bergaul dengan non-Muslim ataupun dengan
komunitas Islam yang berbeda mazhab (aliran), karena sebab mereka adalah
penganut jalan kesesatan dan ahli neraka. Pandangan semacam ini tentu saja
bukan hanya sebuah bentuk ironi melainkan pula telah bertentangan dengan
Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]: 113-114,
yang berbunyi: “Mereka tidaklah sama, diantara orang-orang ahlul kitab terdapat
umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud
kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak pada
kebajikan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka
adalah orang-orang yang shaleh.” Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa,
sekalipun (secara literal) tidak resmi beragama Islam, namun perilaku mereka
(ahlul kitab) adalah cerminan perilaku shalih dalam Islam.
Kembali pada persoalan
intoleransi di Indonesia, sebagaimana mengacu pada catatan Moderate Muslim
Society (MMS) sepanjang tahun 2010, wajah intoleransi telah terjadi 81 kasus
dengan berbagai karakteristiknya. Dari berbagai karakteristik wajah
intoleransinya itu, ada benang merah yang dapat ditarik dan bertemu pada satu
kesimpulan, yakni ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog
secara dingin dan terbuka. Kenyataan pahit ini lagi-lagi (masih menurut catatan
MMS) kasus-kasus yang terkait dengan atas nama agama, dengan capaian 73% dari
81 kasus tersebut diantaranya menimpa naas kelompok Kristen dan Ahmadiyah.
Kalau sudah demikian,
benarkah Islam melegitimasi intoleransi? Jika ya, apakah gunanya beragama jika
hanya membuat orang lain terancam? Jika tidak, sikap apa yang perlu dibangun
generasi muda Muslim serta umumnya masyarakat Indonesia? Tak bisa ditawar lagi,
bahwa peran yang harus secepatnya diambil adalah toleransi sebagai bentuk sikap
kaum moderat, terutama dalam mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang membawa
rahmat bagi semesta. Sebab, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walzer (1997)
memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik
karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peacefull
coeexistensi) diantara pelbagai kelompok masyarakat perbedaan latar belakang
sejarah, kebudayaan, dan identitas.
Sebagaimana Walzer,
Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracy (2007), juga memberikan pandangan
lanjutan yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun
pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan
bahasa.
Dari pandangan tokoh
diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa transformasi dari intoleransi ke
toleransi merupakan sebuah keniscayaan, terutama dalam membangun sebuah tatanan
kehidupan dan peradaban sebuah bangsa. Meski mengambil jalan toleransi bukan
hal yang mudah, namun setidaknya kita dapat memulai sedari munculnya kesadaran
tentang implikasi negatif dari tindakan intoleran.
Kalau ditelusuri dari
akar katanya, toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”, yang
berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Oleh karena
itu Zuhairi Misrawi (2010)—sebagaimana mengutip Asyraf Abdul Wahhab—memberikan
penjabaran terkait toleransi sebagai sikap untuk memberikan hak sepenuhnya
kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah
dan berbeda.
Sedangkan dalam bahasa
Arab, toleransi sepadan dengan kata al-tasamuh, dimana toleransi merupakan
salah satu pokok ajaran Islam yang trans-historis dan trans ideologis, yang
kedudukannya sejajar dengan pokok-pokok ajaran Islam lain seperti rahmat (kasih
sayang), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), dan lain sebagainya. Dari
telaah semacam ini, umat Muslim wajib bukan hanya menyampaikan tetapi juga
melaksanakan ajaran toleransi untuk diketengahkan kepada masyarakat luas.
Karena bagaimanapun, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukan untuk membela
satu golongan tertentu atau mendiskriminasi golongan tertentu, justru hendak
mempersatukan umat manusia di tengah keanekaragaman, karena keanekaragaman dan perbedaan
bukan penghalang, sebaliknya akan menjadi pengokoh untuk semakin terpupuknya
rasa persatuan dan kesatuan. Sebab yang demikian inilah sejatinya Islam
rahmatan lil’alamin. Islam yang dapat hidup secara damai dan berdampingan
dengan apapun komunitasnya (agama dan keyakinannya) dan siapapun orangnya.
Dengan demikian, tak ada
alasan bagi siapapun untuk kemudian membenci orang lain hanya karena ia
berbeda identitas, terlebih bukan pemeluk agama Islam. Dari uraian bahaya laten
intoleransi hingga upaya transformasi intoleransi ke toleransi, penulis
merumuskan beberapa upaya-upaya yang dapat dijadikan sebagai kran pembuka
sekaligus peneguh dalam membangun nalar kritis dalam mewujudkan toleransi atas
kebebasan beragama dan keyakinan.
Pertama, melakukan penafsiran
ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an maupun Sunnah yang (secara literal/kasat
mata) bernuansa intoleransi, menuju tafsir yang bernuansa toleran dan moderat.
Upaya ini dapat dilakukan dengan menafsirkan al-Qur’an dengan mempertimbangkan
sebab-sebab turun (asbab al-Nuzul) dan kontekstualisasinya.
Kedua, bersikap inklusif
dan respect terhadap penganut agama dan keyakinan lain, yakni dengan
mendudukkan semua manusia (apapun latar belakangnya) dengan setara dan ia
berhak menentukan nasib atas dirinya sendiri, tanpa ada pemaksaan. Dari poin
penting ini, mempunyai konsekuensi logis bahwa sebagai sama-sama makhluk
ciptaan Tuhan, sudah sepatutnya saling melindungi dan menghargai satu sama
lain, antara Muslim dengan non-Muslim. Dari sikap terbuka dan respect ini pula,
akan dapat mengeliminir sikap menutup diri, mengasingkan dari golongan yang
berbeda ataupun sikap esklusif lainnya.
Ketiga, melakukan dialog
yang santun. Dengan berdialog, satu sama lain akan terjalin sebuah komunikasi
yang bersifat simbiosa mutualisma, saling menguntungkan, saling melengkapi satu
sama lain, saling menegur sapa jika ada kekeliruan. Mengutip pandangan Cak Nur
(Nurcholish Madjid) bahwa dengan dialog akan terbentuk sebuah persilangan
budaya hibrida, yakni terjalinnya sebuah kebudayaan yang unggul untuk
kepentingan perdamaian dan peradaban bangsa. Dari dialog pula, akan membuahkan
sikap saling pengertian terutama dalam menyikapi keberbedaan, untuk kemudian
dapat terciptanya budaya toleransi diatas perbedaan dan keberagaman.
Walhasil, tantangan yang
akan dihadapi generasi muda Muslim dan juga masyarakat pada umumnya akan
semakin berat, karena koridornya tidak hanya sebatas dalam intern umat segama,
beragama di Indonesia, melainkan pula hidup dalam konteks global-universal.
Genderang Islam toleran dan moderat sebagaimana misinya rahmatan lil’alamin,
sejatinya dibumikan, entah dalam olah wacana maupun gerakan pemberdayaan
masyarakat. Demikian.
0 komentar:
Post a Comment