Jihad untuk Perempuan
Oleh: Mamang M. Haerudin
Dari pemaparan singkat
diatas, kita dapat melihat betapa Islam melaui al-Qur’an sebetulnya memberikan
peranan dan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena
itu, untuk mempertegas kejelasan al-Qur’an tersebut, juga diperlukan upaya
sungguh-sungguh manusia dalam mewacanakan kesetaraan dan keadilan gender
tersebut. Upaya sungguh-sungguh mewujudkan hal itu saya istilahkan dengan
jihad. Mengapa jihad? Tidak jarang, tatkala mendengar kata jihad, oleh sebagian
banyak orang ia diidentikkan dengan perang atau bentuk-bentuk kekerasan fisik
lainnya. Tak pelak jika pemahaman kerdil semacam ini telah mengelabui pemikiran
dan pemahaman kebanyakan umat Muslim, khususnya kelompok esktrimis, bahwa jihad
melulu identik dengan pedang, jubah, jenggot panjang dan sejumlah aksesoris
Arab lainnya. Telah terjadi Arabisasi dalam memahami Islam yang sebetulnya
kontekstual dan universal.
Dalam al-Qur’an, kata
jihad diulang sebanyak 41 kali yang tersebar dengan berbagai latar belakangnya.
Secara etimologi jihad berarti kesungguhan, usaha optimal, atau usaha yang
melelahkan. Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan
mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan yang
mulia.
Oleh karena itu, dengan
sengaja saya menulis “Jihad untuk Perempuan: Dekonstruksi Wacana Bias Gender”,
sebagai sebuah usaha (penafsiran ulang) sungguh-sungguh dalam membangun sebuah
relasi laki-laki dan perempuan berlandaskan prinsip keadilan dan kesetaraan
melalui dekonstruksi (penafsiran) terhadap dogmatisme dan sakralitas wacana
diberbagai tesk (al-Qur’an, Hadits, ataupun kitab kuning )yang berpotensi bias
gender.
Yang akan saya sorot
lebih lanjut adalah tentang sumber rujukan komunitas Muslim, khususnya kalangan
pesantren, selain al-Qur’an dan hadits, yakni kitab kuning. Ya, mengaji kitab
kuning erat kaitannya dengan tradisi pesantren, peran “sakral” kitab kuning
dalam masyarakat santri (terkesan, seakan-akan) melebihi sakralitasnya terhadap
al-Qur’an, ini terlihat misalnya, dalam seluruh istinbath hukumnya selalu
bergantung pada bunyi tekstual yang tertera dalam kitab kuning atau dalam
bahasa lainnya “apa jare kitab kuning”, kira-kira begitu. Tradisi bahsul masail
dikalangan pesantren misalnya, adalah salah satu tradisi debat ilmiah kaum
santri yang sangat lekat dengan kitab kuning sebagai poros utama dalam
pengambilan hukumnya. Tradisi seperti ini hampir-hampir tak ada yang
menyangsikan.
Berkaitan dengan jihad
untuk perempuan ini, perlu saya hadapkan dengan sejumlah kitab kuning yang
mewacanakan gagasan bias gender. Kitab kuning—yang merupakan menjadi referensi
utama pesantren—berfungsi sebagai referensi utama pesantren dalam memahami
setiap dinamika kehidupan, salah satunya soal relasi laki-laki dan perempuan
atau suami dan istri. Kitab-kitab tersebut diantaranya, Safinah al-Naja fi
Maa Yajibu ‘alaa Abdi li Maulaahu, karya Syaikh Salim bin Abdullah bin
Samir, ‘Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, karya Syaikh Nawawi
al-Bantani, Qurrah al-Uyun fi al-Nikah al-Syar’i bi Syarh Nazh Ibnu Yanun,
karya Abu Muhammad Maulana al-Tihami, al-Muhadzdzab fi al-Fiqh al-Imam
al-Syafi’i karya Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf ibn Abdillah, Adab
al-Mu’asyarah bain al-Zaujain li Tashil al-Sa’adah al-Zaujiyyah al-Haqiqiyyah
karya Ahmad bin Asymuni, dan lain sebagainya.
Kitab-kitab yang saya
sebutkan diatas adalah beberapa dari sekian banyak kitab yang dijadikan rujukan
pertama dan utama pesantren yang merupakan konsumsi intelektual para santri,
biasanya kalau tidak secara bandungan, pengajarannya disampaikan melalui
bandongan oleh para ustadz maupun Kiainya.
Wacana-wacana bias gender
yang tertera dalam kitab kuning—minimal dalam beberapa kitab kuning yang telah
saya sebutkan diatas—diantaranya: tentang ketidak bolehan perempuan menjadi
Qadli dan perihal tidak wajibnya perempuan melaksanakan shalat jum’at, dengan
alasan dikhawatirkan ikhtilath (akan berkumpul) dengan laki-laki, wacana ini
tertera dalam kitab al-Muhadzdzab. Dalam kitab Safinah misalnya, ketika kitab
ini membahas tentang mandi wajib, Syaikh Salim memperkarakan 6 (enam)
persoalan; memasukkan penis kedalam vagina, keluar mani, haidl, nifas, wiladah,
dan kematian. Bab ini dihadapkan secara “serius” dengan bersuci, seolah-olah
perempuan tatkala sedang haidl (menstruasi) adalah makhluk yang kotor dan tidak
suci. Dengan alasan menstruasi, perempuan dilarang beribadah, sehingga tak
pelak, jika jumlah shalat fardlu maupun jumlah hari puasa yang dilakukannya
lebih sedikit ketimbang laki-laki.
Tugas istri adalah urusan
domestik; dapur, sumur, dan kasur. Ahmad bin Asymuni dalam kitabnya juga,
mewacanakan hal yang bias gender, bahwa “urusan tamu, semua urusan politik,
sosial kemasyarakatan, ekonomi adalah urusan kamu (laki-laki). Anda berhak
tidak memperkenankan dia (perempuan) untuk ikut campur didalamnya, kecuali
sekedar dibutuhkan. Sementara urusan kamar, dapur, dan urusan kamar yang lain
adalah urusan khusus perempuan. Dst”. Juga wacana tentang tipe istri yang
shalihah, Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya misalkan menulis “wajib bagi
seorang istri untuk senantiasa menunduk malu dihadapan suaminya, tidak banyak
melawan, menunudukkan pandangan matanya, patuh kepada perintah suami, diam
ketika suami sedang berbicara”, dan seterusnya.
Kalau kenyataannya
demikian, kita tidak perlu ragu untuk melakukan penafsiran ulang atau bahkan
dekonstruksi ajaran bias gender dalam kitab kuning, (sekali lagi) terutama
terhadap wacana-wacananya yang bias gender. Dalam kitab Uqud al-Lujain
contohnya, setelah dilakukan penelian mendalam menggunakan metodologi ta’liq wa
takhrij al-Hadits oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid dan kawan-kawan, tidak sedikit
wacana-wacana yang tertulis dalam kitab itu, berkecenderungan bias gender.
Dalam penelitiannya itu ditemukan 26 hadits lemah (dla’if) dan 35 hadits
palsu (maudlu’) dari sekitar 120-an hadits dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn.
KH. Husein Muhammad memberikan penegasan lebih lanjut, bahwa lebih dari
90 hadits Nabi SAW ditulis Kiai Nawawi untuk menjelaskan hak-hak dan kwajiban
suami isteri. Komposisi pembahasan yang menyangkut hak-hak suami lebih besar
ketimbang kewajibannya. Sebaliknya, kewajiban-kewajiban isteri lebih besar
daripada hak-hak yang dimilikinya. Disini kecenderungan Kiai Nawawi
terlihat sangat patriarkhis.
Mendekonstruksi wacana
bias gender juga karena, kedudukan kitab kuning tidak lebih sebagai budaya
manusia (fuqaha) dalam memotret realitas kehidupan (perempuan) pada zamannya,
sehingga ketika zaman sudah berubah dan modern, wejangan-wejangan dalam kitab
kuning yang bias gender itu tidak boleh kita lestarikan, apalagi diaplikasikan.
Memang bukan perkara
mudah, untuk kemudian “membongkar” tradisi “apa jare kitab kuning” ini, selain
karena tradisi ini telah tumbuh amat lama, ini pula dapat ditengarai oleh
sejumlah pandangan Kiai (sebagai pemilik otoritas pesantren) yang masih
terjangkit paradigma eksklusif-konservatif. Namun perlu dicatat, bahwa maksud
dari tulisan saya ini bukan berarti menganjurkan untuk membabad habis seluruh
nilai-nilai dalam khazanah kitab kuning, saya hanya sekedar memberikan saran
dan perbaikan terhadap “wejangan-wejangan” kitab kuning yang sudah tidak
relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian. Bukankah dalam tradisi
pesantren dikenal dengan adagium; “Menjaga tradisi lama yang masih relevan, dan
mengambil tradisi baru yang lebih relevan”. Ini artinya, secara terbalik juga
menyarankan agar; “Membuang tradisi lama yang sudah tidak relevan, menjauhi
tradisi (meskipun) baru yang (dianggap) tidak relevan”. Semoga bermanfaat.
Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment