Islam, Kesehatan Reproduksi, dan Perempuan
Shalihah
Oleh: Mamang M.
Haerudin
”Alasan utama mengapa
konferensi [kependudukan 1994 di Kairo] itu diadakan adalah karena masih
kuatnya ketidakpedulian atau pengabaian masyarakat dan pemerintah terhadap
pentingnya pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan dan masih kuatnya ketimpangan
gender dalam memikul tanggung jawab reproduksi pada pundak perempuan”—Prof. Dr.
Siti Musdah Mulia, MA
Dalam salah satu dawuh
Nabi SAW—yang diriwayatkan Imam Muslim—menuturkan; al-Thahuru Syathr
al-Iman wa al-Hamdulillah Tamla’ al-Mizan. Bahwa, bersuci adalah bagian
dari keimanan dan ungkapan syukur pada Allah akan memberatkan timbangan amal.
Kalau kita renungkan, dawuh ini sarat akan makna, betapa Islam amat
memperhatikan soal kesucian. Kesucian dalam makna kontekstualnya, tentu bukan hanya
dalam soal wudlu, lebih luas dan mendalam, ia adalah pesan agar manusia intens
dalam menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya, dari segala macam “penyakit”,
baik secara dhohir maupun bathin.
Berdasarkan dawuh Nabi
SAW tersebut, ini membuktikan bahwa Islam amat me-wanti-wanti agar
manusia—sedini mungkin—memperhatikan dimensi kebersihan dan kesehatan tubuhnya.
Salah satu isu tentang kesehatan yang masih menjadi persoalan pelik hingga saat
ini adalah tentang kesehatan reproduksi perempuan. Ya, kesehatan reproduksi
bagi perempuan ini masih dianggap tabu, sehingga ia seakan-akan dianggap bukan
merupakan persoalan yang serius. Sehingga, selain masih banyak masyarakat yang
mengabaikannya, juga meskipun banyak regulasi atau pelbagai kebijakan praksis
lainnya, yang sudah ada, terkesan asal oyeg saja. Kalau sudah demikian,
pertanyaannya adalah masihkah kita tinggal diam? Apakah Islam menghendaki
demikian?.
Perlu diketahui, sebelum
Islam turun ke muka bumi, realitas perempuan dalam masyarakat Arab bahkan
dunia, amatlah menyedihkan. Betapa tidak, keberadaan perempuan tidak hanya
dianggap sebagai fitnah dan malapetaka, tetapi juga keberadaannya amat
dimarjinalkan dan direndahkan. Hak-hak mereka (perempuan), termasuk hak
kedaulatan dan kepemilikan atas tubuhnya sendiri dipasung dan didholimi. Tak
aneh, jika perbudakan merajalela dimana-mana. Kenyataan pahit ini pulalah yang
telah mengantarkan Umar bin Khattab pernah membunuh puterinya sendiri. Namun
hal tersebut tidak berlangsung lama, saat Islam turun, caha terangnya mencerahkan
segala kegelapan, Umar bin Khattab pun dengan jujur menginsafi bahwa
perbuatannya amat keliru. Berikut penuturan jujurnya; “Ketika Jahiliyah
(pra-Islam), kami (orang-orang Arab) sama sekali tidak pernah memandang penting
kaum perempuan (bahkan merendahkan). Tetapi ketika Islam datang dan Tuhan
menyebut-nyebut mereka, kami baru menyadari bahwa mereka memiliki hak atas
kami”.
Dari penuturan jujur Umar
itulah, bahwa Islam mempunyai tujuan yang amat mulia, yakni melakukan
transformasi sosial, menuju masyarakat berdaulat dan berperadaban. Benar, Islam
membumi hendak menyelamatkan manusia dari segala bentuk ketidakadilan dan
pendholiman. Terutama memperjuangkan kedaulatan dan kebebasan perempuan dalam
memenuhi hak-haknya untuk menentukan sendiri kehidupannya. Salah satu misi
pembebasan Islam adalah memperjuangkan kedaulatan dan kepemilikan atas tubuh
perempuan, yakni soal pemenuhan kesehatan reproduksi berikut proses dan
fungsi-fungsinya.
Kesehatan reproduksi,
sebagaimana mengacu pada Chapter (Nan) VII dari Plan of Action hasil ICDP 1994,
didefinisikan sebagai; keadaan fisik, mental, kelayakan sosial secara
menyeluruh, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut
fungsi-fungsi dan proses-prosesnya. Hak-hak perempuan yang dimaksud dalam
kesehatan reproduksi ini, sekurangnya melingkup pada soal; khitan perempuan,
hak menikmati hubungan seksual, hak menolak hubungan seksual, hak menolak
kehamilan, hak menggugurkan kehamilan (aborsi), prostitusi, penyakit menular
seksual, HIV/AIDS dan lain sebagainya.
Sementara itu, Prof. Dr.
Siti Musdah Mulia, MA memberikan cakupan-cakupan yang sangat luas terhadap
pengertian hak kesehatan reproduksi, antara lain; Pertama, setiap
individu dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, serta
menjauh dari kemungkinan tertular HIV/AIDS dan berbagai macam penyakit seksual
menular lainnya; Kedua, setiap individu memiliki kemampuan untuk
bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa
sering mereka ingin bereproduksi, termasuk pula segala cara pengaturan
fertilitas yang tidak bertentangan dengan undang-undang; Ketiga, setiap
individu berhak menjangkau pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan kaum
perempuan menjalani kehamilan dan melahirkan anak secara aman.
Memperjuangkan pemenuhan
hak-hak perempuan dalam lingkup kesehatan reproduksi, merupakan bukan perkara
mudah. Betapa tidak, selain karena kelalaian pemerintah dan konstruksi
sosial-budaya masyarakatnya yang patriarkhi, juga karena hasil interpretasi
teks-teks keagamaan arus utama yang mengemuka cenderung eksklusif dan bias
gender. Dengan demikian, upaya dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan
(dalam lingkup kesehatan reproduksi, terutama) adalah dengan mengacu pada
beberapa penyebab dan akar masalah yang telah dikemukakan tadi.
Berkaitan dengan
diskursus kesehatan reproduksi perempuan, ini akan mengantarkan pada kualitas
atau hasil daripada aktualisasi hidup perempuan itu sendiri agar dapat menyemai
hidup dalam keseharian dengan penuh makna. Sehingga itu, dalam Islam, dikenali
secara luas, dawuh Nabi SAW yang lain bertutur; “Dunia ini seluruhnya
perhiasan dan seindah-indahnya perhiasan adalah perempuan shalihah”. Dawuh inilah
yang dianggap masyarakat sebagai capaian utama seorang perempuan dalam
hidupnya, yakni menggapai predikat perempuan shalihah. Ada persoalan
tersendiri, jika dalam memahami dawuh ini hanya membaca sepintas-tekstualis,
sabda ini seolah-olah, mengandung pesan keindahan bahwa (hanya) perempuan saja
yang dituntut menjadi perempuan shalihah. Sehingga tak jarang, dawuh ini
dijadikan legitimasi laki-laki guna mensubordinasi perempuan agar patuh
padanya, dalam kondisi apa, kapan, dan dimanapun. Interpretasi semacam ini,
bukan saja telah memasung hak-hak perempuan, tetapi pula mencederai substansi dawuh
itu sendiri.
Ya, predikat shalihah,
perempuan siapalah yang tak mendamba. Namun, dalam memaknai perempuan shalihah
perlu dipertegas, sebab sementara ini ada yang rancu menurut hemat saya, yakni
tatkala predikat perempuan shalihah dipersepsikan hanya sebatas perempuan yang
taat menjalankan ibadah ritual-vertikal ataupun perempuan yang tunduk patuh
secara mutlak terhadap laki-laki. Sekali lagi, ini rancu. Mengapa? Pasalnya,
perempuan sejak diciptakannya adalah mitra setara laki-laki, tidak ada yang
saling merendahkan dan mengungguli (lihat QS. al-Baqarah [2]: 228). Oleh karena
itu, saya berpendapat bahwa perempuan shalihah dalam pengertian paling
sederhana-menyeluruh, yakni shalihah yang bukan hanya merujuk dalam soal ibadah
ritual-vertikal, tetapi juga shalihah secara sosial-horizontal, shalihah secara
luar-dalam (dhahir-bathin), termasuk didalamnya adalah pemenuhan kesehatan
reproduksinya.
Dengan demikian, dalam
konteks suami-istri misalnya, perempuan (istri) shalihah adalah istri yang
senantiasa kompak bersama suami dalam membangun bahtera kehidupan rumah tangga,
yang berbasiskan prinsip saling melengkapi dan mengayomi. Istri bersama-sama
memikul tanggung jawab rumah tangganya bersama suami. Istri tetap diperkenankan
menunaikan potensinya, untuk berkiprah di wilayah publik. Bahkan, ketika
misalkan suatu saat nanti, terjadi masalah atau kendala tertentu, inipun
hendaknya diselesaikan secara bersama, tidak saling menyudutkan dan tidak
saling menyalahkan. Maka, merupakan konsekuensi logis dari upaya bersama dan
konstruktif itu adalah, jika istri mempunyai capaian menuju istri shalihah,
maka suamipun mempunyai capaian menuju suami shalih.
Bagaimana kesehatan
reproduksi dalam konteks remaja? Ya, kesehatan reproduksi dalam konteks remaja,
mempunyai peranan yang sangat urgen pula. Pengertian remaja dalam arti paling
sederhana, setidaknya ia merujuk pada sosok manusia yang sedang mengalami fase
transisi dalam proses perkembangan psiko-sosiologisnya. Dengan melihat kondisi
demikian, remaja seyogianya memerlukan pendampingan intens dari orangtuanya,
terutama dalam menyikapi problema internal, baik dari fungsi-fungsi reproduksi
maupun mentalnya. Bagaimana kemudian, remaja tersebut diberikan pendidikan
tentang pentingnya kesehatan reproduksi dalam menyikapi perubahan-perubahan
psiko-biologisnya itu. Pendidikan dan pendampingan orangtua, sekurangnya
berkisar pada upaya memberikan pengertian dan pemahaman menyangkut
perubahan-perubahan hormonal mulai dari berfungsinya organ-organ reproduksi,
seperti misalnya menstruasi, mimpi basah, jerawatan, dan lain sebagainya.
Urgensi pendidikan
kesehatan reproduksi bagi remaja semakin dirasakan manfaatnya, disebabkan
pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja ini tidak hanya sekedar penerangan
soal seks dan seksualitas, melainkan pula dapat memberikan pemahaman kepada
remaja untuk memanfaatkan masa remajanya dengan baik dan produktif, sehingga
tidak terjerumus pada jurang pergaulan bebas; seks bebas, HIV/AIDS, dan lain
sebagainya.
Jika dirunut dari awal,
memperjuangkan kesehatan reproduksi menuju perempuan shalihah, ini sebetulnya
visi dan misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, yang salah satunya
adalah juga bermakna merahmati keberadaaan perempuan, terutama soal kesehatan
reproduksinya. Sehingga pertama-pertama, beberapa upaya yang harus ditegakkan
dan ditegaskan dalam hal ini adalah; Pertama, bahwa kesehatan reproduksi
adalah hak, hak perempuan sebagai bagian daripada Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebab, sebagaimana mengacu pada konsepsi al-Ghazali, bahwa hak kesehatan
reproduksi termasuk pada salah satu dari lima maqashid al-syariah-nya,
yakni hifdh al-Nasl. Kedua, mengubah paradigma interpretasi
teks-teks keagamaan yang bias-eksklusif menuju adil-inklusif, bahwa dalam
Islam, kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara
(sehingga, yang membedakan keduanya adalah hanya terletak pada kualitas
takwanya), terrmasuk dalam memenuhi hak-hak reproduksinya. Ketiga,
merubah secara gradual-evolutif-emansifatif konstruksi sosial-budaya masyarakat
yang patriarkhi, menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera yakni masyarakat
yang senantiasa proaktif dalam memenuhi kesehatan reproduksi bagi perempuan. Keempat,
bahwa konsep perempuan shalihah mesti diiringi dengan laki-laki shalih. Dalam
konteks suami istri—sebagaimana telah dikemukakan diatas, sesuai dengan konsep
al-Qur’an, bahwa, mereka (istri) adalah pakaian bagimu dan kamu pakaian bagi
mereka (QS. al-Baqarah [2]: 187).
Dari penjelasan singkat
ini, saya berharap mulai dari sekarang, kita bersama harus mewujudkan keadilan
dalam memenuhi hak-hak perempuan, terutama dalam hal kesehatan reproduksi bagi
perempuan. Walhasil, dari ikhtiar ini, ikhtiar mewujudkan kesehatan reproduksi
bagi perempuan, akan mengantarkan pada capaian “perempuan shalihah” disatu
sisi, dan melahirkan (re) generasi-generasi yang unggul, sehat, dan
shalih-shalihah disisi lain, dimana upaya-upaya yang telah dibangun bersama
dapat dicatat sebagai amal ibadah menuju kualitas keimanan tinggi, sebagaimana
termaktub dalam dawuh Nabi SAW dimuka. Amin. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment