Oleh:
Mamang M. Haerudin
“Akal
adalah dasar. Jika tidak, maka kenabian dan syariat tidak akan dipahami”.
Yang berujar demikian bukan saya, melainkan Imam Al-Ghazali. Saya hanya copy
paste (copas) saja. Mengapa saya kemukakan ini diawal? Karena akal
pikiranlah yang hanya dapat membedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan
Tuhan lainnya. Maka itu, dengan akal pikirannya, manusia dianugerahi Tuhan
sebagai sosok makhluk yang paling baik penciptaannya.
Bahkan,
Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya mengatakan: “Yang pertama diciptakan Allah
adalah akal. Dia mengatakan padanya: “Menghadaplah”, lalu dia menghadap.
Kemudian Allah mengatakan: “Membelakanglah”, lalu dia membelakang. Allah
kemudian mengatakan: “Dialah kemuliaan dan keagungan-Ku, tidak Aku ciptakan
makhluk yang lebih kuat dan lebih mulia selainmu. Denganmu Aku memberi,
denganmu Aku memperhitungkan, dan denganmu Aku menghukum”.
Begitupun,
dalam QS. Yunus [10]: 100, Allah menegas dengan lugas: “Dan tidak seorangpun
akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”. Tak hanya itu, di ayat-Nya
yang lain dalam QS. Ali-‘Imran [3]: 190 menyerukan: “Sesungguhnnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang ada tanda-tanda bagi
orang-orang yang mempunyai (akal) pengetahuan”. Karena amat urgen dan
signifikannya peran akal, di banyak ayat, Allah menegur manusia dengan bertanya
bernada menegur—dengan bentuk dan gaya bahasa yang beragam; “Apakah kalian
tidak memikirkan?”, “Apakah kalian tidak melihat?”, “Apakah
kalian tidak merenungkannya?” dan lain semacamnya.
Semuanya
bernada menegur, agar manusia dapat mensyukuri anugerah akal yang telah
diberikan oleh Allah Swt. Bersyukur, dimulai dari ucapan, itikad, sampai
perbuatan nyata. Mengucapkannya seraya melafadhkan; “Alhamdulillah”
(segala puji bagi Allah), lalu mengitikadkan ucapannya itu penuh dengan sungguh
dan keyakinan, dan kemudian mengaplikasikannya dalam perbuatan sehari-hari
dalam kehidupan. Begitulah baru disebut orang yang bersyukur.
Sebab
itu, kita, manusia mesti bisa mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki
untuk senantisa beramar ma’ruf dan nahi munkar. Menebas segala kebodohan dan
kemafsadatan serta menegakkan kejeniusan dan kemaslahatan.
Akal
sangat dekat dengan potensi intelegensi dan kreativitas. Hanya dengan akal,
manusia bisa menggapai sebuah kreativitas dan kegemilangan. Ya, kunci dan pintu
kreativitas dan kegemilangan adalah terletak pada sejauh mana mendayagunakan
akal dan kemampuan berpikir. Tanpa menggunakan akal pikirannya dengan baik,
mustahil manusia akan kreatif, maju, dan dinamis. Malah, yang ada justru jumud,
mandeg, dan bodoh. Ini penting karena mendayagunakan segenap potensi akal pikiran
manusia, adalah bagian terbesar dari kemaslahatan dan peradaban.
Begitupun,
ketika kita, manusia melihat pelbagai tindak kemunkaran. Kita mesti dan wajib
untuk mencegah dan memberangusnya. Kita tak boleh besikap acuh, apalagi
berpura-pura tidak mengetahuinya. Yang sekarang sedang gencar misalnya korupsi,
suap menyuap, dan lain sejenisnya. Meskipun memang, hal-hal itu lebih menjadi
tugas para penegak hukum. Nah, bagi kita yang bergelut dalam dunia keilmuan dan
akademis adalah mencegah memudarnya nuansa keilmuan dan melestarikan tradisi
keilmuan adalah satu hal yang mulia. Satu diantara dari pertanda dan bentuk
kemafsadatan (kehancuran) yang paling berbaya juga mematikan dalam dunia
kelimuan dan akademis adalah memudar dan menghilangnya gairah dalam menggali
berikut mengkaji khazanah intelektual. Kondisi dimana umat manusia sudah
enggan, melakukan tradisi intelektual; membaca, menulis, bediskusi, mengkritik,
berdebat, dan di saat yang bersamaan tumbuh subur tindak destruktif;
plagiarisme, kisruh politik, perebutan keuasaan, korupsi, suap menyuap, dan
lain sejenisnya.
Dengan
isak tangis yang menyedihkan, saya teringat dengan maqalah Muhammad
Iqbal—salah seorang filsuf muslim besar asal Pakistan—yang menyatakan: “Manusia
yang semakin dekat kepada Allah akan semakin kreatif, mencintai ilmu dan arif,
karena Tuhan adalah Mahakreatif, mahamengetahui dan Mahabijaksana”. Memudar
dan menghilangnya kajian khazanah intelektual adalah satu bentuk dan bukti
nyata, bahwa kreativitas telah hilang dan sirna. Dan yaktilah bawa amat tak
layak manusia macam itu (yang enggan mencintai ilmu dan berkreativitas)
mengatasnamakan dirinya hamba Allah, apalagi dekat dengan-Nya.
Sejarah
mencatat, peradaban emas yang amat gemilang diraih oleh ulama abad pertengahan,
adalah tak lain karena kerativitas dan inovasinya dalam mendayagunakan potensi
intelegensi. Begitu sangat kaya dan melimpah ruah seluruh bidang keilmuan
tercipta pada zaman itu. Bukti nyatanya adalah, bahwa hingga detik ini
warisan-warisan khazanah intelektual Islam ulama abad pertengahan, dengan mudah
dapat kita jumpai dan pelajari. Satu institusi pendidikan yang sangat apik,
dalam melestarikan warisan ini adalah pondok pesantren.
Namun
ironisnya, di sebagian besar umat Islam saat ini, yang terjadi tidak hanya
memudar dan menghilangnya kajian khazanah dan tradisi intelektual, melainkan
juga malah menyudutkan, atau bahkan menyumpah serapah peran dan kedudukan akal
manusia, dengan menganggapnya sebagai sebuah jalan keburukan dan kekesatan.
Miris sekali.
Tindak
menyudutkan dan menyumpah serapah potensi akal itu, mereka berdalih bahwa
kebahagiaan hidup sama sekali tidak bisa diraih dengan akal. Kata mereka juga,
jangkauan dan kualitas akal manusia itu terbatas. Bahkan tak jarang, sambil
mencatut sebuah data penelitian orang luar, mereka mengamini bahwa potensi akal
atau intelegensi, tidak lebih utama dari emosional dan spiritual. Sehingga
katanya, orang sukses adalah orang yang emosional dan spiritualnya tinggi dan
mumpuni, bukan yang intelegensinya tinggi. Atau dalam konteks yang lebih nyata,
satu contoh seperti yang terjadi pada mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi.
Bahwa indeks prestasi (IP) sama sekali bukan penentu mahasiswa yang berhasil
dan sukses.
Mendapati
hal demikian—untuk tidak mendiskusikan lebih panjang bahwa akal (intelegensi)
memiliki kekurangan dan terbatas—maka harus diakui memang bukan persoalan
mudah. Akan tetapi dalam hemat saya—meski dengan terpaksa mengikuti alur
mereka—, menganggap bahwa akal (intelegensi) memiliki kekurangan dan terbatas,
adalah iya. Namun siapakah pihaknya yang mengetahui dimana letak batas akal
itu? Apakah manusia berhak mengadili dan membatasi pikir akal? Dengan segala
kerendahan hati, yakinlah bahwa yang berhak mengatasi hal itu semua adalah
Allah Swt, Sang Pencipta akal itu sendiri.
Akhirnya,
saya teringat pada satu dawuh Sahabat Ali bin Abi Thalib: “Al-Qur’an
hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan,
melainkan harus ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan oleh manusia”.
Maksudnya, Al-Qur’an adalah benda mati, ia bisa hidup jika dihidupkan oleh
manusia. Sementara itu, yang menghidupkan pemahaman manusia itu bukan apa-apa,
melainkan akal (integensi). Karena itu pula mendayagunakan dan menjamin
kebebasan akal adalah salah satu pandangan Imam Al-Ghazali dalam rumusan Kulliyat
Al-Khams (lima prinsip universal) sebagai Maqashid Al-Syariah (tujuan
pokok syariah); HifdhAl-Din (menjamin kebebasan beragama), Hifdh
Al-Nafs (menjamin kebebasan hidup, Hifdh Al’Aql (menjamin kebebasan
akal dan berkreativitas), Hifdh Al-Mal (menjamin kepemilikan harta) dan Hifdh
Al-Nasl wa Al-‘Irdl (menjamin keturunan dan profesi).
Kalau
sudah demikian, apakah pantas manusia yang menyumpah serapah potensi
intelegensi (akal) disebut manusia yang pandai bersyukur? Saya, tak akan
menjawab, kembali saya serahkan kepada khalayak biar anda masing-masing yang
menjawab, yang tentunya masih punya nurani dan akal sehat. Maka, bersegeralah
berintrospeksi diri, dengan tetap saling menasehat dalam kebaikan agar tetap
menjadi hamba-Nya yang senantisa pandai bersyukur. Dan, mari menggema dan
menggelorakan kembali tradisi-tradisi intelektual, agar terhindar dari
keterpurukan dan hancur, sehingga dengan demikian peradaban emas yang pernah
digapai oleh ulama abad pertengahan, dapat kita petik kembali. Amin. Karena
itu, yakinlah bahwa Islam amat menghargai potensi akal. Wallahu’alam
bi Al-Shawab.
0 komentar:
Post a Comment