Pernikahan dan Kekeliruan Pandangan Atasnya
Oleh: Mamang M. Haerudin
Bagaimana kamu (tidak) akan mengambilnya (mahar) padahal sekalian (suami-istri) telah saling bersandar, dan mereka (perempuan) itu telah mendapatkan dari kamu (lelaki) perjanjian yang berat?! (QS. al-Nisa [4]: 21)
Imam Syafi’i—Mahaguru komunitas Sunni—berpendapat bahwa hukum dasar pernikahan adalah mubah sehingga melakukan pernikahan tidak dipandang sebagai ibadah. Disini, Imam Syafi’i mendudukkan pernikahan sebagai sebuah aktivitas yang timbul semata-mata karena dorongan biologis, karenanya (hubungan seksual) tanpa diwajibkan pun akan tetap berlangsung. Pandangan semacam ini, kembali diperkuat olehnya bahwa tuntutan syar’i (Tuhan) tidak mewajibkan sesuatu yang nyata ada dalam naluri manusia.
Oleh: Mamang M. Haerudin
Bagaimana kamu (tidak) akan mengambilnya (mahar) padahal sekalian (suami-istri) telah saling bersandar, dan mereka (perempuan) itu telah mendapatkan dari kamu (lelaki) perjanjian yang berat?! (QS. al-Nisa [4]: 21)
Imam Syafi’i—Mahaguru komunitas Sunni—berpendapat bahwa hukum dasar pernikahan adalah mubah sehingga melakukan pernikahan tidak dipandang sebagai ibadah. Disini, Imam Syafi’i mendudukkan pernikahan sebagai sebuah aktivitas yang timbul semata-mata karena dorongan biologis, karenanya (hubungan seksual) tanpa diwajibkan pun akan tetap berlangsung. Pandangan semacam ini, kembali diperkuat olehnya bahwa tuntutan syar’i (Tuhan) tidak mewajibkan sesuatu yang nyata ada dalam naluri manusia.