Menulis dengan Perspektif Perempuan
Salah satu upaya yang bisa dilakukan pesantren dan umumnya masyarakat demi
perubahan dan pemenuhan hak-hak perempuan adalah dengan menulis. Sebagaimana
telah ditorehkan oleh para tokoh pesantren yang telah saya sebutkan di atas.
Kita perlu banyak bahan bacaan tentang hak-hak perempuan yang berperspektif
kesetaraan dan keadilan. Buku-buku ihwal perempuan dan segala hal yang
melingkupinya bukan tidak ada, malah terlanjur banyak, hanya saja patut
disayangkan karena muatan bukunya adalah hanya sebatas melanjutkan
pandangan-pandangan bias gender dan mendiskriminasi perempuan.
Kebutuhan akan tulisan tersebut dimanjakan dengan canggih dan mudahnya
sajian teknologi dan insformasi. Berbagai fasilitas media cetak dan elektronik,
ditambah dengan berbagai kemudahan dan murahnya aktif di jejaring sosial
seperti facebook dan twitter tak terelakkan. Kalau pesantren masih nyaman
dengan status quo-nya, bukan hal yang tak mungkin, pesantren akan
usang tertinggal zaman.
Untuk memantik
kepedulian akan pemenuhan hak-hak perempuan, saya ambil contoh kasus buku “Udah
Putusin Aja” dan “Yuk, Berhijab” karya Felix Y. Siauw, salah
seorang yang—katanya ustadz—aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagaimana
tidak, hanya dalam waktu singkat, buku-bukunya menjadi best seller.
Saya merasa paham betul kenapa kemudian, buku-buku Felix penjualannya melesat
cepat. Buku tersebut mudah dan menarik dibaca oleh kalangan apapun, desain
cover dan tata letak isinya juga unik, dan bahasa yang digunakan mudah dicerna.
Tak
hanya itu, Felix pun menjadi motivator dan trainer di berbagai kota di dalam
dan luar negeri. Sasaran ‘empuk’ Felix tentu saja para pemuda-pemudi. Bukan
tanpa alasan, jiwa pemuda-pemudi berpotensi menggebu. Dakwahnya dibungkus
dengan dalil-dalil ‘dangkal’ Islam, tetapi karena penyampaiannya mengesankan,
akhirnya banyak orang yang menaruh simpati dan mengikuti jejaknya.
Felix
juga aktif di berbagai media di internet; di facebook, twitter, dan website.
Sampai hari ini jumlah penyuka Fanspage-nya di facebook tidak kurang dari
600.000 orang, followers-nya di twitter tidak kurang dari 600.000 orang, angka
ini terus bertambah, begitu pun dakwah menulis di website pribadinya; silakan
lihat di www.felixsiauw.com. Tiap kali Felix up date status
di facebook, hanya selang beberapa menit para penyukanya berjumlah ribuan
bahkan ratus ribuan orang. Di twitter juga sering merutinkan kultwit; kuliah
twitter. Demikian juga di website pribadinya. Felix juga sudah berhasil
‘mencuri’ sebuah program di TVRI bertajuk motivasi Islami.
Sepintas lalu tak tampak sesosok Felix yang sedang merusak tatanan NKRI,
Islam, dan hak-hak perempuan. Pribadi Felix yang tampak ramah, penuh ghirah,
dan mantan non-Muslim (mualaf), menjadi daya tarik tersendiri bagi para
pengagumnya. Jika saya teruskan bahasan ini, rasanya ironis dan memprihatinkan.
Betapa tidak, kelompok Muslim moderat di negeri ini menjadi mayoritas di bawah
naungan ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, seolah tenang. Penyikapan
ini tereksan reaktif, itulah memang, karena kita sering—untuk enggan mengatakan
selalu—kalah cepat dan strategi oleh mereka.
Pesantren dan Muslim moderat pada umumnya mesti bersatu. Kita, Muslim
moderat, selalu saja bangga dengan label mayoritas dan menganggap enteng dengan
alasan jumlah mereka hanya secuil. Padahal, sikap seperti itu (maaf) sangat
bodoh. Harusnya kita mesti waspada, kalau kerja kemanusiaan kita selama ini
betul-betul ingin nyata. Langkah awalnya kita mesti bersatu, menyusun dan
merumuskan upaya pemenuhan hak-hak perempuan dengan rencana dan target yang
jelas.
Rekomendasi saya, untuk upaya pemenuhan hak-hak perempuan harus berbasis di
dua lini; pertama lini kaum muda dan kedua; orang pada
umumnya. Pada lini pertama, kaum muda bagaimana pun regenerasi bangsa.
Penanaman tentang pentingnya mengilhami spirit kesetaraan dan keadilan mutlak
digulirkan sedini mungkin. Kita harus paham keinginan mereka terutama bila
ditinjau dari sisi psikologis. Kita harus sinergi dengan stilah-istilah yang
sedang nge-trend di kalangan pemuda. Tulisan-tulisan melalui
buku-buku, website/blog, status facebook, kicauan twitter, dan media lainnya
harus menyesuaikan dengan trend kaum muda kontemporer. Karena secara
psikologis, kalangan pemuda merupakan kelompok manusia potensial yang sedang
dalam masa pencarian jati diri. Dan di saat yang sama mereka butuh pendamping
yang siap menemani terutama saat mereka dilanda galau (duka).
Tidak ada jalan lain, kecuali kita bersama-sama mengkader
para pemuda-pemudi untuk menjadi penulis, trainer, dan motivator yang punya
perspektif gender dan ramah perempuan. Muatan tulisan, training, dan motivasi
bersendikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Kita harus punya regenerasi
yang produktif dan aktif berkarya di berbagai media. Sebab menulis, training,
dan motivasi itu satu paket. Para writer, trainer, dan motivator hampir
seluruhnya mempunyai keahlian dalam ketiga keahlian itu. Tulisannya inspiratif,
trainingnya menggerakkan, dan motivasinya mengguggah. Menulis dengan Perspektif Perempuan
0 komentar:
Post a Comment