Tokoh-tokoh Pesantren yang Ramah Perempuan
Pertama,
adalah KH. Husein Muhammad, salah seorang ulama pesantren yang concern
dalam diskursus dan aplikasi pemberdayaan perempuan berperspektif gender. Telah
banyak buku yang ditulis oleh beliau beberapa di antaranya Fiqh Perempuan (LKiS-Rahima),
Islam Agama Ramah Perempuan (LKiS-Fahmina), Ijtihad Kyai Husein
(Rahima), dan lain-lain.
Kiai Husein
merupakan salah satu pimpinan pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon,
yang juga aktif sebagai komisioner di Komnas perempuan. M. Nuruzzaman dalam
bukunya “Kiai Husein Membela Perempuan” (2005) menyebut Kiai Husein
sebagai feminis laki-laki. Dalam buku ini juga, dikatakan bahwa pada awalnya
Kiai Husein sempat kaget ketika praktik diskriminasi pada perempuan itu begitu
nyata. Atas ajakan KH. Masdar Farid Mas’udi, Kiai Husein ‘disadarkan’ dan
diwejangi pemikiran-pemikiran kritis tentang gagasan-gagasan keagamaan.
Meskipun patut disayangkan “sang-guru” justru berbalik arah; dari awalnya concern
pada hak-hak perempuan, justru mengingkari pembelaannya selama ini dengan
berpoligami.[6]
Kiai
Husein mengatakan dalam bukunya “Islam Agama Ramah Perempuan”,
tuntutan untuk merumuskan kembali wacana gender dalam komunitas pesantren dan
kegelisahan-kegelisahan yang dirasakan oleh mereka tersebut agaknya sangat
dipahami. Hal ini karena konstruksi wacana tentang relasi suami istri secara
khusus dan relasi laki-laki perempuan secara umum sebagaimana tertulis dalam
kitab-kitab kuning—acuan utama pesantren—masih sangat bias gender.[7]
Kedua,
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, merupakan guru besar di UIN Syarif
Hidayatullah, dan ketua ICRP Jakarta. Sebagaimana Kiai Husein, Bu Musdah banyak
menelurkan karya tentang pentingnya mendaulatkan hak-hak perempuan. Buku-buku
tersebut di antaranya; Islam dan Hak Asasi Manusia (Naufan Pustaka), Muslimah
Reformis (Mizan), Muslimah Sejati (Marja), dan lain-lain.
Bu
Musdah juga salah seorang yang lekat dengan tradisi pesantren, mampu memahami
berbagai kitab kuning, terutama kitab kuning yang menyoal posisi dan hak-hak
perempuan. Bu Musdah bisa saja tak mengelola pesantren, tetapi berbekal
pengalamannya dahulu belajar dan hidup di pesantren, cukup mewakili bahwa Bu
Musdah pantas dijadikan sebagai tokoh pembaharu (reformis) pesantren. Apalagi
Bu Musdah juga pernah menahkodai badan otonom NU; Fatayat dan Muslimat.
Dalam
bukunya “Muslimah Sejati”, Bu Mudah menyatakan bahwa salah satu akar
masalah kekerasan terhadap perempuan adalah karena pemahaman ajaran Islam yang
keliru. Terutama tentang wacana pemukulan suami kepada istri. Hal itu membawa
kepada pemahaman bahwa suami boleh memukul istrinya. Memukul istri merupakan
hak suami, karena suami mempunyai kedudukan lebih tinggi sebagai pemimpin dan
pemberi nafkah bagi istrinya.[8]
Ketiga,
adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri
Agama. Beliau juga merupakan orang pesantren, pernah merasakan bagaimana mondok—belajar
dan hidup di pesantren. Bukunya yang paling terkenal adalah “Argumen
Keseteraan Jender Perspektif al-Qur’an” (Paramadina), yang lainnya “Akhlak
Perempuan” (Restu Ilahi), “Fikih Wanita untuk Semua” (Serambi),
dan lain-lain.
Tokoh-tokoh pesantren yang lain; Shinta Nuriyah Wahid, Mohamad Guntur Romli,
Faqihuddin Abdul Kodir, Abdul Moqsith Ghazali, Syafiq Hasyim, Badriyah Fayumi,
dan lain-lain yang tak bisa saya sebutkan semuanya. Tetapi yang jelas,
tokoh-tokoh pesantren ini mengusung kesetaraan dan keadilan gender berbasiskan
pemikiran kitab kuning-kontekstual.
Saya rasa, kita perlu mereproduksi ulama-ulama pesantren yang ramah gender.
Kebutuhan akan ulama ramah perempuan ini sangat perlu dan mendesak, terutama
bagi masyarakat yang hidup di daerah-daerah. Di mana akses pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan lainnya masih amat kurang dan jauh menjangkau mereka.
Biasanya, dalam urusan apapun, apalagi agama, masyarakat daerah menggantungkan
hidupnya pada kiai-kiai atau ustadz-ustadz di daerahnya masing-masing. Dan
kenyataannya ulama daerah itu lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan, atau
ada ulama daerah perempuan tetapi perspektif keagamaannya masih patriarkhi.Tokoh-tokoh Pesantren yang Ramah Perempuan
0 komentar:
Post a Comment