Menegakkan Kesetaraan, Menghapus Kekerasan
Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Istilah ini
kemudian dipakai dalam diskursus perempuan mengenai hak-haknya; kekerasan
terhadap perempuan.
Ada banyak bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan; fisik, psikis,
ekonomi, dan seksual. Jenisnya pun beragam, mulai dari praktik khitan
perempuan, marital rape (perkosaan dalam perkawinan), berkata kotor
dan kasar (membentak, mengancam, dll), pelecehan seksual, pemerkosaan,
menggantungkan ekonomi pada perempuan, dan lain sebagainya.
Untuk
memulai upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, kiranya perlu
dituangkan sebuah ayat dalam QS. al-Ahzab [33]: 35, “Sungguh bagi orang
muslim laki-laki dan perempuan, bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan, bagi
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, bagi orang laki-laki dan
perempuan yang benar, bagi orang laki-laki dan perempuan yang sabar, bagi orang
laki-laki dan perempuan yang khusyu’, bagi orang laki-laki dan perempuan yang
memberi sedekah, bagi orang laki-laki dan perempuan yang berpuasa, bagi orang
laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, bagi orang laki-laki dan
perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka itu Allah menyediakan ampun
dan pahala yang besar.”
Ayat ini berawal aspirasi kaum perempuan berbentuk ‘gugatan’ yang kemudian
direspon oleh Allah Swt. Ayat ini turun berkenaan dengan zaman saat itu, para
suami terbiasa melakukan pemukulan terhadap istrinya dengan tudingan
membangkang, cemburu, dan susah diatur dengan alasan meluruskan dan mendidik
karakter perempuan. Nabi Muhammad Saw melarang kaum laki-laki (suami) melakukan
kekerasan dan pemukulan, tetapi kemudian kaum laki-laki saat itu—yang diwakili
Umar—kembali menggugat dengan dalih kalau mereka (kaum perempuan) dibela dan
dipenuhi gugatannya maka mereka akan terbiasa membangkang. Nabi Muhammad
akhirnya terpaksa membolehkan pemukulan itu. Tapi tak berselang lama para kaum
perempuan berunjuk rasa, merespon keputusan Nabi yang dirasa tak memihak itu.
Dan karena
‘unjuk rasa’ itu akhirnya Nabi pun bersabda, “Jangan memukul perempuan!”
Umar datang dan berkata: “Para perempuan membangkang pada suami mereka”
diizinkanlah memukul perempuan. Maka para perempuan pun mengerumuni rumah Nabi
Muhammad Saw dengan jumlah yang banyak. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sungguh
telah mengelilingi rumah Rasulullah Saw sebanyak 70 orang perempuan yang
mengadu perihal suami (yang memukuli mereka), sesungguhnya orang yang terbaik
di antara kalian tidak akan menjumpai mereka itu (orang-orang yang memukuli
istrinya).” (HR. Abu Dawud)
Meminjam
istilah Mohamad Guntur Romli bahwa sejarah lampau dalam al-Qur’an harus
dipahami sebagai upaya penegakkan prinsip kesetaraan yang bernuansa
kompromistis. Nuansa kompromistis ini terjadi kembali pada proses turunnya ayat
32 surat al-Nisa [4]. Ummu Salamah berkata pada Nabi Muhammad saw, “Ya
Rasulullah para laki-laki ikut berperang, sedangkan kami (perempuan) tidak
(boleh) berperang, (biarkan) kami juga bertempur hingga kami mati syahid, dan
kami juga hanya memperoleh separo jatah warisan.” Allah pun kemudian menurunkan
ayat dalam QS. al-Nisa ini, “Janganlah kalian kamu berangan-angan dan iri
hati atas kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih daripada
yang lain, karena bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan, dan bagi
perempuan ada bagian yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah karunia-Nya.”
Ayat ini
dimaknai bahwa firman ini tampak ingin menenangkan dan membesarkan hati para
perempuan. Dan yang paling penting dari ayat ini ada di kalimat “bagi laki-laki
ada bagian yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian yang mereka
usahakan” bahwa pada akhirnya bagian, jatah, dan hasil akhir akan lahir dari
proses dan kerja, tidak pandang laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki pada
waktu itu usahanya lebih keras misalnya dengan berperang dan berdagang ke luar
rumah, maka hasil dan warisannya lebih banyak.[9] Pemaknaan semacam ini berarti
ingin menegaskan bahwa dalam konteks yang dibentuk oleh konstruksi sosial sama
sekali tak berurusan dengan jenis kelamin, perempuan atau laki-laki.
Oleh
karena itu sekurangnya ada empat prinsip yang harus dipahami untuk menegakkan
kesetaraan. Pertama, perempuan dan laki-laki punya kedudukan sama
sebagai hamba Allah.[10] Kedua, adanya keterlibatan aktif dalam
drama-kosmis antara Hawa dan Adam.[11] Ketiga, perempuan dan laki-laki
sama-sama menerima amanah dan perjanjian primordial.[12] Keempat,
perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi menjadi unggul dan berprestasi.[13]
Dari
keempat prinsip ini, laki-laki sering kali mengelak dengan alasan bahwa
perempuan ‘dari sono-nya’ ditakdirkan menjadi manusia yang ‘kurang akal’ dan
‘kurang agamanya’.[14] Untuk memperjelas duduk soalnya, perlu dituangkan bunyi
haditsnya, “Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bahwa rasulullah telah
bersabda: “Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah
istighfar. Karena aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka.”
Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya: “Ya Rasulullah,
kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka?”
Rasulullah bersabda: “Kalian banyak yang mengutuk dan mengingkari suami. Aku
tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih
daripada golongan kalian. “Perempuan itu bertanya lagi: Ya Rasulallah! Apakah
maksud kekurangan akal dan agama itu?” Rasululallah bersabda: “Maksud
kekurangan akal ialah kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian
seorang laki-laki, dan inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga
perempuan tidak mengerjakan shalat pada malam-malam yang dilaluinya kemudian
berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekuarangan
agama.”
Nurjannah Ismail mencoba memaknai hadits ini dengan lebih bijak dan adil. Bahwa
kata “kekurangan akal” dan “kekurangan agama” dalam hadits ini tidak berarti
perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau mengungguli prestasi
kreativitas akal dan ibadah laki-laki. Hadits ini menggambarkan keadaan praktis
sehari-hari laki-laki dan perempuan di masa nabi: laki-laki memperoleh otoritas
persaksian satu berbanding dua dengan perempuan, karena ketika itu fungsi dan
peran publik berada di pundak laki-laki. “Kekurangan agama” terjadi pada diri
perempuan karena memang hanya perempuanlah yang menjalani masa menstruasi.
Laki-laki tidak mengalami siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh
meninggalkan ibadah-ibadah wajib tanpa alasan lain yang dapat dibenarkan.[15]
Perbedaan kualitas persaksian antara perempuan dan laki-laki lebih berhubungan
dengan anggapan budaya, bukan pada kualitas akal perempuan.[16] Jadi jika ada
pihak yang masih ‘keukeuh’ bahwa perempuan kurang akal dan agamanya hanya
karena jenis kelamin, argumen tersebut sungguh sempit dan tak berdasar.
Pasalnya, nilai ibadah dan takwa seseorang tak melulu ditentukan oleh
kuantitas, tetapi lebih pada kualitasnya. Sehingga dengan demikian, haid
bukanlah aib apalagi penghalang untuk menjadi hamba yang taat.
Dengan dasar fondasi dan perspektif kesetaraan dan keadilan yang kuat
seperti di atas, maka sesungguhnya ironi jika kekerasan masih saja marak
terjadi. Tak ada jalan keluar lain, selain secara bersama kita, dengan gegap
gempita, terus berupaya menghapuskan segala tindak dan bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Kalau kita telusuri sekurangnya ada empat akar masalah
kenapa kemudian kekerasan terhadap perempuan semakin marak dan sulit
dihapuskan. Pertama, adalah interpretasi teks agama yang bias.
Beberapa interpretasi bias sering terjadi pada ayat dan hadits, misalnya; QS.
An-Nisa [4]: 34, ayat ini selalu dipahami bahwa laki-laki mutlak berkuasa atas
perempuan. Problem pemaknaan ini tentu saja dipelopori oleh para ulama klasik,
tanpa reserve dipahami oleh para ulama kini dan diikuti masyarakat mainstream.
Kedua,
budaya patriarkhi yang akut. Konstruksi budaya masyarakat yang sudah sejak lama
terbangun selalu menempatkan perempuan tak punya kedaulatan sosial. Kehidupan
perempuan selalu disetir oleh otoritas laki-laki. Baik-buruknya perempuan ditentukan
laki-laki. Budaya ini yang juga menyebabkan para perempuan dikerangkeng untuk
tidak boleh berkiprah di wilayah publik, ia hanya berkewajiban memenuhi urusan
dapur, sumur, dan kasur saja.
Ketiga, tatanan hukum yang dikriminatif. Produk hukum yang tak memihak ini
misalnya tampak dalam UU Perkawinan tahun 1974, pasal 31 ayat 3; “Suami adalah
kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.” Berikutnya pada pasal 34
ayat 1 dan 2 juga disebutkan; “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuan” dan “Istri
wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.” Tatanan hukum
demikian, yang menyebabkan istri menjadi pihak yang selalu disalahkan ketika
terjadi KDRT, dengan alasan istri tidak patuh pada suami, dan alasan lainnya.
Keempat, pemahaman gender yang timpang. Perempuan selamanya berada di bawah
komando laki-laki. Relasi yang terbangun dalam rumah tangga pun timpang,
perempuan menjadi pihak inferior di bawah superioritas laki-laki.
Maka untuk menghapuskan akar kekerasan itu perlu diupayakan langkah-langkah
sebagai berikut; pertama, reinterpretasi teks keagamaan. Melakukan
penafsiran ulang dan baru.[17] Kedua, reformulasi hukum berwawasan
kesetaraan. Produk-produk hukum yang ada, terutama yang berkenaan langsung
dengan keberadaan perempuan, banyak menyudutkan perempuan. Selain karena proses
pembuatan hukum tersebut perempuan jarang dilibatkan, muatannya begitu bias dan
patriakhi.
Ketiga, rekonstruksi budaya yang berkeadilan. Konsekuensi dari itu adalah
perempuan mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi dari
laki-laki. Kebebasan yang selama ini didapat oleh laki-laki, seharusnya juga
didapat oleh perempuan. Budaya merupakan segala hal yang dilakukan berulang-ulang
dan menjadi kebiasaan. Jika budaya yang selama ini terbangun berfondasikan
patriarkhi maka tidaklah menganehkan jika sampai saat ini budaya patriarkhi
masih kokoh. Sebaliknya, jika hari ini kita memulai membangun kembali sebuah
budaya yang berkebebasan dan berkeadilan, serta hal tersebut disosialisasikan
dan dilakukan secara serius maka hal itu bisa menjadi budaya yang baik, yakni
budaya yang berkeadilan.
Termasuk mengakhiri pembenaran atas anggapan ‘suka sama suka’ pada kasus
pemerkosaan. Tak kurang dari M. Nuh (menteri pendidikan dan kebudayaan) pernah
menyatakan, bahwa hubungan seksual suka sama suka pada remaja kadang bisa
dipalsukan sebagai aduan pemerkosaan. Terkait hal ini menarik dikutip pandangan
Lies Marcoes bahwa ketimpangan relasi antara pelaku dan korban bisa dalam
bentuk kekuasaan (political power), umur, ekonomi, atau emosional.
Kasus paling gampang dilihat adalah kekerasan yang terjadi dalam hubungan
sedarah (inses): ayah, kakek, paman, abang terhadap anak, cucu, keponakan,
adik, atau majikan terhadap pembantu, guru terhadap murid. Dalam relasi ini,
ancaman tak selalu fisik, tetapi bisa ancaman emosional, rasa khawatir,
kasihan, dan sejenisnya.[18]
Hal senada ditegaskan Ayu Utami, bahwa tubuh perempuan
membawa jejak persetubuhan lebih lama. Bahkan bisa selama-lamanya. Ia bisa
menerima benih dan menjadi hamil. Maka alamiah juga jika perempuan lebih tidak
cepat lupa. Ia lebih sulit terlepas dari jejak hubungan seks, secara fisik
maupun psikologis. Pengalaman inilah yang perlu betul-betul kita
pertimbangkan.[19] Pernyataan ini sekaligus ingin mengkritisi anggapan bahwa
pemerkosaan bukan hanya soal hubungan fisik. Pemahaman yang luas seperti ini
juga menuntut agar masing-masing kita mempunyai cara pandang perempuan ketika
hendak memberi solusi pada kasus pemerkosaan. Termasuk perkawinan, adalah bukan
solusi akhir dan apalagi terbaik dalam penanganan kasus pemerkosaan. Harus ada
solusi-solusi yang memihak pada perempuan misalnya tentang pencatatan akte
lahir anak yang lahir di luar nikah tak boleh diskriminatif. Dan tentu saja
harus ada solusi-solusi lain yang memihak perempuan, korban. Menegakkan Kesetaraan, Menghapus Kekerasan
0 komentar:
Post a Comment