Meluruskan Fenomena Jilboobs
Mamang M. Haerudin
Jilbab dan hijab, sebenarnya adalah dua terma yang berbeda, tetapi dalam
perkembangan sosialnya dipahami campur aduk. Saya ingin lebih dulu,
menduduk-perkarakan kedua terma ini. Jilbab sendiri bersumber dari ayat dalam
QS. al-Ahzab, [33]: 59. “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah
dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu”.
Terma jilbab berasal dari kata (kerja) dalam bahasa Arab; jalaba
yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat
dilihat. Tetapi patut diketahui para ulama sendiri berbeda pandangan untuk
menentukan secara pasti bagaimana cara dan bentuk riil yang berarti ‘menutupkan
sesuatu di atas yang lain’, karena al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan
batasan-batasannya secara eksplisit. Sementara hijab, asal maknanya adalah
tirai, pembatas, penghalang, penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi,
membatasi, memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga
satu dengan yang tidak saling melihat atau memandang dan berhubungan fisik.
Digambarkan dalam QS. Al-Ahzab [33]: 53; “Jika kamu meminta sesuatu kepada
mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik “hijab”. Cara ini lebih
mensucikan hatimu dan hati mereka”.
Tetapi baiklah, tanpa mengingkari maksud baiknya itu,
berjilbab/hijab memang suatu kebaikan. Kebaikan yang ditujukan kepada perempuan
Muslimah, agar terjaga dan terhindar dari fitnah. Tetapi masalahnya, selama ini
yang selalu dijadikan objek fitnah adalah melulu perempuan, jarang sekali—untuk
tidak mengatakan tidak sama sekali—ditujukan kepada laki-laki, di mana
sesungguhnya laki-laki juga berpotensi menjadi fitnah dan sumber keresahan
sosial. Meluruskan Fenomena Jilboobs
0 komentar:
Post a Comment