Pesantren dan Perempuan
Bergumul
dengan pesantren, tak ubahnya bergumul dengan fikih. Dan secara umum, kajian
keilmuan di pesantren fikih oriented, di mana fikih menjadi dominan
dalam membangun epistemologi. Sesungguhnya tak harus ada yang dikhawatirkan
dengan dominannya kajian fikih di pesantren, mana kala fikih yang dikaji adalah
fikih sebagaimana makna generiknya. Yakni pengetahuan dan pemahaman mengenai
hukum-hukum syari’at yang dihasilkan dari kajian terhadap al-Qur’an dan hadits.
Imam Badr al-Din al-Zarkasyi misalnya memberikan definisi tentang fikih;
“Fikih pada dasarnya adalah pengetahuan yang mencakup semua aturan agama
yang mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang Tuhan, keesaan Tuhan, dan
sifat-sifatnya, para Nabi dan Rasul-Nya, tentang tingkah laku, etika, dan apa
yang perlu dilakukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lain.”[3]
Jadi
fikih di sini adalah fikih yang bersifat universal dan kontekstual. Tidak
seperti fikih yang berkembang sekarang, yakni fikih yang direduksi hanya fikih
empat mazhab, atau bahkan hanya fikih Imam Syafi’i saja, yang fatalnya tak
menerima adanya kontekstualisasi dan kritik. Jadi fikih yang diilhami sampai
dewasa ini adalah produk fikih tempo dulu tanpa reserve, bukan lagi
pada penekanan proses transmisi panjangnya.
Padahal
menurut Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), pesantren mempunyai genealogi
intelektual fikih-sufistik, yakni fikih yang bernuansa tasawuf. Islam datang di
Indonesia sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia dan kemudian di anak
Benua India, yang berorientasi sangat kuat pada tasawuf. Oleh karena itulah
kita dapati bahwa tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan
watak tradisi keilmuan di pesantren pada saat itu.[4] Fikih yang sangat
mengedepankan akhlakul karimah, memudahkan, dan lembut. Jadi ketika
fikih yang berkembang sampai saat ini menjadi fikih yang diskriminatif,
menyulitkan, dan keras, masyarakat pesantren dan umat Muslim pada umumnya mesti
mempertanggungjawabkan dengan berupaya mengembalikan fikih pada watak aslinya.
Mohamad
Guntur Romli, berpendapat bahwa berperan dalam ruang domestik (keluarga) dan
publik adalah pilihan perempuan. Perempuan berhak untuk memilih berperan di
salah satu ruang itu, atau keduanya. Tidak diperkenankan memaksa perempuan
berperan di salah satu ruang itu—diskriminasi yang sering muncul misalnya
perempuan identik dengan ruang domestik.[5] Jadi pandangan yang beranggapan
bahwa perempuan ketika sudah menikah menjadi milik suami dan di saat yang sama
mesti menuruti perintahnya tanpa kecuali, sesungguhnya anggapan yang tidak
berdasar.
Namun
memang harus diakui bahwa pesantren termasuk ‘penyumbang’ dalam tindak
kekerasan terhadap perempuan, terutama lewat pengajian dan pemahamannya
terhadap kitab kuning yang dinominasi oleh kitab kuning yang bias gender. Ini
memang menyakitkan, akan banyak pimpinan dan civitas pesantren yang ‘marah’
jika dinyatakan sebagai salah satu penyumbang kekerasan.
Kita
ambil contoh misalnya beberapa kitab kuning yang sering atau hampir dikaji di
pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa; Uqud al-Lujain
karya Imam Nawawi al-Bantani, Qurrah al-Uyun karya Abu Muhammad
Maulana al-Tihami, Adab al-Mu’asyarah bain al-Zaujain karya Ahmad bin
Asmuni, dan lain-lain. Imam Nawawi al-Bantani dalam Uqud al-Lujain
misalnya mengatakan; “Kalau pun seorang istri telah menghabiskan malamnya
untuk ibadah, siang untuk puasa, tetapi ketika suami mengajaknya ke tempat
tidur, dia (istri) terlambat memenuhinya, maka dia akan diseret, dibelenggu dan
dikumpulkan bersama para setan lalu dimasukkan ke neraka paling dalam.”
Pandangan-pandangan tersebut dan semacamnya menjadi problem tersendiri bagi
pesantren. Bagi para pimpinan dan civitas pesantren yang belum ‘tercerahkan’
pandangan-pandangan bias tersebut tentu saja dirasa tidak bermasalah, malah
telah dijadikan standar baku dalam kehidupan rumah tangga dan relasi antara
perempuan (istri) dan suami (laki-laki) tanpa harus ada kritik apalagi
kontekstualisasi. Bahkan, tak jarang, dipahami oleh masyarakat pesantren bahwa
mempelajari dan apalagi menerapkan isi kitab kuning itu akan mendapatkan berkah
dari penulisnya, karena mana mungkin penulis kitab (mushanif) itu
bodoh apalagi ingin mendiskriminasi perempuan. Karena yang ada
pandangan-pandangan seperti itu justru dalam rangka mendidik perempuan (istri).
Problem
berikutnya bagi pimpinan dan civitas pesantren yang telah ‘tercerahkan’, mereka
sudah punya paradigma dan perspektif yang berkeadilan, tetapi tetap kesulitan
untuk memulai melakukan perubahan terhadap paradigma dan perspektif mainstream.
Pimpinan dan civitas pesantren dalam kategori ini adalah mereka yang memang
punya ghirah tinggi pada keilmuan dan perubahan. Mereka sudah mau
menerima hal-hal yang datang dari ‘luar’, entah berupa pemikiran maupun
kerja-kerja kemanusiaan.
Problem
yang dihadapi pimpinan dan civitas pesantren yang tercerahkan ini sebetulnya
tak terlalu menyulitkan, hanya saja memang pertimbangannya adalah
kehati-hatian. Mereka ingin ada perubahan secara perlahan agar tidak ditanggapi
dengan sinis dan garang. Pada umumnya, problem itu seputar bagaimana cara
menyampaikan pandangan-pandangan kitab kuning ‘bias’ itu dengan bahasa yang
‘membumi’ dan menyejukkan. Untuk dapat dipahami dan diterapkan baik dalam
kehidupan rumah tangga pribadi maupun orang lain (masyarakat).
Beruntunglah pesantren-pesantren dan bangsa ini, karena kian banyak para ulama
pesantren yang concern dalam pengarusutamaan dan pemberdayaan
perempuan dengan tetap bersandarkan pada kitab kuning tetapi dengan paradigma
dan perspektif yang memihak perempuan. Adapun tokoh-tokoh atau ulama-ulama
pesantren itu akan dibahas pada sub-bab selanjutnya. Pesantren dan Perempuan